Kali ini saya ingin menceritakan pengalaman saya jalan-jalan ke Taman Nasional Way Kambas di Provinsi Lampung. Sudah lama sekali saya ingin mengunjungi taman nasional ini agar bisa melihat gajah di alam liar. Akhirnya keinginan itu dapat terwujud pada tahun lalu. Kebetulan saat itu saya memang sedang berlibur di Lampung. Sebelumnya saya sudah menikmati wisata kuliner Bandar Lampung dan pemandangan alam dari Muncak Teropong Laut, Pantai Mutun, Pulau Tegal Mas, dan Pulau Mahitam. Di hari terakhir liburan, saya bersama teman saya memutuskan untuk pergi ke Way Kambas.

Sebelumnya saya sudah coba men-gugling cara menuju ke Taman Nasional Way Kambas. Saya membacai postingan blog orang-orang yang pernah berwisata dan melihat gajah di sana. Namun, memang tidak semua informasi yang tercantum dalam tulisan tersebut up to date. Di antara artikel blog dan pemberitaan media online, saya mendapatkan informasi kalau Taman Way Kambas dapat ditempuh dari Terminal Rajabasa, Bandar Lampung dengan menumpang bus Trans Lampung. Karena tidak ada pilihan lain dan tidak tahu lagi cara pergi ke Way Kambas, saya pun berencana untuk naik bus itu dan berangkat besok pagi-pagi sekali.

Alangkah terkejutnya begitu tiba di terminal sesuai jadwal yang tertera di Internet, saya tidak mendapati bus yang dimaksud. Usut punya usut ternyata bus itu sudah lama tidak beroperasi lagi. What? Saya pun dibuat speechless dibuatnya. Lalu petugas terminal merekomendasikan untuk naik bus tujuan Labuhan Meringgai lalu turun di pertengahan jalan untuk lanjut naik ojek ke Way Kambas. Untuk itu kami harus menunggu sekitar satu jam. Belum lama, tiba-tiba petugas terminal menyuruh naik bus tujuan Metro. Kami menurut saja karena memang sudah clueless. Tarif bus Rp 25.000 dengan fasilitas kelas eksekutif dengan dilengkapi selimut dan reclining seat yang sepertinya mubazir untuk perjalanan sekitar 2.5 jam saja. Apalagi penumpang bus kala itu sangat sedikit, bisa dihitung jari. 

Di tengah jalan kami mendapati kejutan lainnya, bus yang kami tumpangi ditabrak sebuah truk sampai kaca belakangnya pecah. Semakin speechless rasanya. Setelah diurus sopir bus, akhirnya perjalanan berlanjut ke pool Damri Kota Metro. Di sana kami diberitahu bahwa masih harus menunggu bus lanjutan yang ternyata berangkat dari Bandar Lampung juga. Sepertinya bus itu memang bus yang tadinya mau kita naiki menuju Labuhan Meringgai.

Semakin membingungkan dan sedikit kesal. Lalu kami pun sarapan dulu karena tadi belum sempat. Kami pun tanya kanan kiri bagaimana cara menuju Taman Nasional Way Kambas. Saya pun sempat mencari rental mobil dan meneleponnya. Namun sayang, tidak ada mobil yang tersedia. 

Seorang paman tua yang nongkrong di pool Damri itu menawarkan untuk mengantarkan kami ke Taman Nasional Way Kambas dengan harga yang mahal tentunya. Awalnya saya tidak antusias dengan ide itu karena bisa jadi dia hanya memperdaya kita. Akan tetapi, tidak ada pilihan lain, dan kami pun mulai menawar harga. Si paman tua itu terus bersikukuh mematok harga tinggi untuk jasa antarnya dengan alasan jalan menuju ke sana sangat buruk dan sukar dilalui kendaraan biasa. Akhirnya kami mengalah dan setuju dengan tarif Rp 700 ribu untuk ongkos ke Way Kambas dan diantar pulang hingga Bandar Lampung. 

Betapa terkejutnya kami melihat mobil yang akan mengantarkan kami. Sebuah mobil Kijang keluaran lama. Dengan kursi belakang yang diatur seperti angkot. Dua teman saya memilih duduk di belakang, sementara saya duduk di samping supir. Sebelum ke Way Kambas, kami sempat mampir ke rumah si supir untuk mengambil kursi tengah dari mobil itu agar teman saya yang duduk di belakang bisa duduk lebih nyaman. Tetapi kenyataannya mereka berdua mengeluh karena kursi tidak dipasang dengan bautnya, kursi itu terus berguncang sepanjang jalan dan membuat mereka tersiksa.

Tidak ada yang istimewa dari perjalanan itu. Saya memilih untuk tidur saja menghabiskan perjalanan yang cukup lama sekitar 2-3 jam. Mendekati Way Kambas kami sempat mampir di sebuah rumah makan Padang untuk membeli bekal. Si paman tua berujar kalau sulit mendapatkan makanan di sana. Selang kurang lebih setengah jam kemudian kami tiba di gerbang Taman Nasional Way Kambas. Faktanya, jalan menuju Way Kambas dan di dalam area taman nasional tidaklah seburuk ucapan paman tua itu, semuanya sudah diaspal dengan mulus. Kami pun segera masuk menuju tempat untuk melihat gajah. 

Setelah tiba di sana, kami terkejut karena tempatnya di luar ekspektasi kami. Tempatnya seperti tidak terurus. Tak ubahnya seperti kebun binatang atau tempat wisata yang sangat jadul dan terlihat lusuh. Satu-satunya gajah yang kami lihat hanya seekor gajah tunggang sepertinya sudah tua juga. Di mana kami bisa pemandangan gajah di alam liar? Kami mencoba mencari tahu dan berjalan mengikuti arahan peta petunjuk menuju penggembalaan gajah. 

Ternyata area penggembalaan gajah itu tidak bisa dimasuki sembarangan tanpa dipandu petugas. Kami sempat berbincang dengan seorang petugas yang sedang lewat. Dia bilang kami bisa berfoto dengan gajah di alam liar dengan tarif Rp 150 ribu per jamnya dan diminta mendaftarkan diri ke loket gajah tunggang tadi. 

Agak menyedihkan melihat gajah tunggang itu. Setelah berkeliling membawa pengunjung, gajah itu dirubuti rombongan anak-anak untum berfoto bersama. Ketika gajah sudah kembali dan berdiam, saya merekamnya. Belalai gajah itu tak bisa diam. Di dapatinya sebuah kantong plastik lalu dimakan begitu saja. Saya pun terkejut, lalu meminta teman saya untuk memberikan buah nangka yang dibawanya untuk si gajah. Gajah itu pun langsung melahap semuanya meskipun buah itu masih dibungkus plastik. Gajah itu tampaknya sudah sangat lapar dan tak sabar menunggu menunggu teman saya membuka plastiknya terlebih dahulu. Tak lama kemudian ada orang lain yang memberi gajah itu makanan. Semoga gajah itu baik-baik saja. 

Saya pun mengutarakan keinginan saya untuk berfoto dengan gajah di alam liar. Karena saat itu masuk jam istirahat, petugas berusaha mengulur waktu. Tapi akhirnya mau juga karena kami bersikukuh tidak punya banyak. Ternyata gajah tua tadi yang akan berfoto bersama kami. Namanya Derry (atau Berry) dengan dipandu seorang pawang. Kami dan gajah itu pun memasuki kawasan penggembalaan gajah. 


Di area penggembalaan itu memang suasananya sangatlah alami. Akan tetapi, saya terkejut karena gajah di sana tidak bebas berkeliaran karena sedang digembalakan dengan rantai. Mungkin karena tempat itu memang pusat pelatihan gajah dan menjaga agar gajah tidak berkeliaran di pemukiman warga. Gajah di sana pun beragam usianya, ada yang masih kecil, ada juga yang masih remaja. 


Singkat cerita, kami berfoto dengan gajah tua itu. Sang gajah nampaknya pandai sekali berpose mengikuti arahan dan kode suara yang diberikan pawangnya. Gajah itu duduk, berbaring, lalu mengangkat belalainya. Senang rasanya bucket list saya bisa terwujud, meskipun kenyataannya tidak seindah film Trinity: The Nekad Traveler, tayangan dokumenter TV, ataupun foto hits di Instagram. Semoga ke depannya pengelolaan taman nasional ini bisa lebih ditingkatkan untuk mengutamakan kesejahteraan gajah-gajah yang ada di sana. Kejutan terakhir, seekor gajah remaja bernama Sugeng hampir memakan tas teman saya yang masih membawa buah di dalamnya. Untung saja saya segera menyadari dan memperingatkannya. Sang pawang pun membantu untuk menghalau gajah itu dan isi tasnya dapat diselamatkan.


Saksikan vlog perjalanan selengkapnya di kanal YouTube Berbudi TV!