Mayoritas masyarakat miskin kurang begitu peduli pada tingkat pendidikan anak mereka. Seringkali kesempatan anak untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi harus dikorbankan demi mencari nafkah dan membantu perekonomian keluarga dengan bekerja. Pengembangan program pendidikan sambil bekerja bisa menjadi alternatif kebijakan yang dapat dijalankan pemerintah guna mengatasi masalah rendahnya angka partisipasi pendidikan dan tingginya angka pengangguran. Sekolah ini juga berpotensi untuk menumbuhkan kewirausahaan berbasis potensi sektor unggulan daerah.
Esai ini ditulis oleh Budiono dan diikutsertakan dalam Kompetisi Esai Mahasiswa (KEM) 2010.
Rendahnya angka partisipasi pendidikan dan tingginya angka pengangguran merupakan dua masalah krusial yang harus diatasi pemerintah untuk mewujudkan penduduk yang sejahtera. Berdasarkan data BPS, di tahun 2008 angka partisipasi pendidikan kasar penduduk di sekolah menengah secara nasional hanya 44,22 % dan pengangguran terbuka nasional berjumlah 9.394.515. Kedua masalah tersebut saling berkaitan. Dengan tingkat pendidikan yang masih rendah, sulit bagi penduduk untuk memperoleh pekerjaan yang layak sehingga akan menciptakan pengangguran. Kemudian, pengangguran akan berdampak pada bertambahnya kemiskinan yang akan mempersulit penduduk usia sekolah untuk mengakses pendidikan. Hubungan ini pada akhirnya akan membentuk suatu siklus yang terus terulang sehingga kemiskinan pun akan terus ada. Oleh karena itu, pengentasan kemiskinan seharusnya tidak hanya berkutat pada pemberian bantuan langsung tunai, tetapi harus mengatasi dua masalah yang menjadi akar dari kemiskinan, yaitu masalah pendidikan dan pengangguran.
Mayoritas penduduk miskin hanya menyekolahkan anak mereka hingga jenjang sekolah dasar. Rendahnya angka partisipasi pendidikan penduduk di jenjang pendidikan menengah dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Biaya pendidikan yang mahal dan tidak dapat dijangkau oleh penduduk miskin menjadi faktor eksternal yang membuat orang tua miskin tidak menyekolahkan anak mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Sulitnya mengakses fasilitas pendidikan menengah juga menghambat partisipasi pendidikan penduduk yang tinggal di pelosok. Selain faktor-faktor eksternal, faktor internal juga sangat mempengaruhi partisipasi pendidikan penduduk. Faktor internal tersebut meliputi kesadaran penduduk akan pentingnya pendidikan dan pilihan dilematis (trade-off) antara bekerja atau sekolah. Harus diakui, kesadaran penduduk pedesaan akan pentingnya pendidikan masih rendah. Hal ini dikarenakan mayoritas penduduk pedesaan bekerja di sektor pertanian dan sektor informal yang tidak memerlukan persyaratan pendidikan formal. Lain halnya dengan penduduk usia sekolah di keluarga miskin, keadaan ekonomi keluarga yang serba kekurangan membuat mereka menghadapi pilihan dilematis antara bekerja atau sekolah. Dengan bekerja, mereka bisa mendapatkan penghasilan (walaupun relatif kecil) dan berkontribusi pada perekonomian keluarga, sedangkan jika memilih untuk sekolah, mereka hanya akan menjadi beban tanggungan keluarga yang harus membiayai sekolah mereka. Keadaan dilematis seperti ini pada akhirnya akan membuat keluarga miskin cenderung lebih memilih membiarkan anak-anak mereka bekerja daripada sekolah.
Intervensi pemerintah dapat secara langsung menghilangkan faktor-faktor eksternal yang menghambat partisipasi penduduk, misalnya dengan mengeluarkan regulasi untuk meringankan biaya pendidikan dan pemberian beasiswa untuk siswa tidak mampu, serta membangun sarana dan prasarana pendidikan menengah di daerah pelosok. Namun, intervensi pemerintah selama ini belum bisa secara langsung mengatasi hambatan dari faktor-faktor internal. Bahkan, faktor internal seringkali kurang mendapat perhatian pemerintah dalam pengambilan kebijakan terkait upaya meningkatkan partisipasi pendidikan penduduk, padahal faktor ini sangat menentukan partisipasi pendidikan penduduk.
Faktor-faktor internal sangat erat kaitannya dengan pola pikir dan preferensi penduduk yang sulit diintervensi. Sebagai contoh, kurangnya kesadaran penduduk akan pentingnya pendidikan dapat disebabkan pola pikir yang terbentuk di masyarakat bahwa tinggi-rendahnya tingkat pendidikan tidak terlalu berpengaruh terhadap tingkat kemudahan mencari pekerjaan, terbukti dengan banyaknya jumlah pengangguran terdidik di beberapa daerah. Pemerintah harus bisa memberikan insentif untuk mengubah pola pikir tersebut. Implikasinya, pemerintah harus dapat menyediakan lapangan kerja yang memadai untuk semua lulusan sekolah menengah yang masuk ke angkatan kerja. Akan tetapi, pemerintah memiliki kemampuan yang terbatas dalam menyediakan lapangan kerja.
Preferensi penduduk yang lebih memilih untuk bekerja di usia dini daripada harus sekolah hingga jenjang menengah telah menjadi salah satu penghambat terbesar partisipasi pendidikan penduduk. Pilihan ini sangat tergantung pada insentif yang diberikan. Penduduk lebih memilih untuk bekerja karena adanya insentif berupa upah/gaji yang didapat dari bekerja dan bisa membantu perekonomian rumah tangga. Sebaliknya, penduduk tidak memilih sekolah karena adanya disinsentif, meliputi biaya sekolah yang mahal, akses ke fasilitas pendidikan yang sulit dijangkau, dan lain-lain. Oleh karena itu, selain dengan meringankan biaya pendidikan menengah dan mempermudah akses ke fasilitas pendidikan, pemerintah perlu memberikan insentif ekonomis ekonomis berupa uang agar penduduk lebih memilih untuk sekolah.
Sebagai bentuk implementasi pemberian insentif ekonomis untuk meningkatkan partisipasi penduduk, selain dengan memberikan keringanan biaya sekolah bagi penduduk miskin, penulis menggagaskan program “Pendidikan Sambil Kerja”. Program ini mengakomodasi penduduk usia sekolah yang ingin sekolah sambil bekerja sehingga mereka bisa tetap mendapatkan penghasilan tanpa harus mengorbankan kesempatan mereka untuk mengenyam pendidikan menengah. Secara umum, program ini dapat diartikan sebagai penggabungan antara kegiatan sekolah formal yang diselingi kegiatan bekerja. Adapun pengertian bekerja di sini adalah kegiatan produksi barang dan jasa yang dilakukan oleh siswa di luar jam sekolah tanpa mengganggu kegiatan belajar mengajar.
Program “Pendidikan Sambil Kerja” dapat diterapkan menggunakan dua cara. Cara pertama, pihak sekolah memberikan kesempatan bagi siswa untuk magang di sekolah tersebut, misalnya dengan bekerja paruh waktu sebagai staf administrasi/tata usaha, pustakawan, asisten laboratorium, asisten guru, pengawas ujian, asisten pelatih kegiatan ekstrakurikuler, dan lain-lain. Cara pertama ini sangat praktis dan dapat diterapkan hampir di semua sekolah menengah, baik SMP, SMA, maupun SMK. Cara kedua, pihak sekolah dapat mendirikan unit usaha sendiri. Selain sebagai sarana untuk kegiatan praktik siswa, unit usaha ini juga berfungsi sebagai tempat bekerja siswa-siswa yang mengikuti program ini. Unit usaha tersebut bisa berupa restoran, salon, butik, percetakan, jasa desain grafis dan pemrograman, bengkel, pembibitan tanaman, dan lain-lain. Siswa-siswa yang mengikuti program ini akan bekerja paruh waktu di salah satu unit usaha selama menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Selain bekerja di bagian teknis, mereka juga dilibatkan dalam urusan manajemen unit usaha tersebut. Cara kedua ini tidaklah mudah untuk diterapkan di semua sekolah dan lebih cocok diterapkan di SMK. Pada intinya, program ini dapat dikatakan sebagai program magang yang difasilitasi pihak sekolah selama siswa menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Dari kedua cara penerapan program, cara kedua akan memberikan efek jangka panjang yang lebih besar karena berpotensi menumbuhkan kewirausahaan.
Program “Pendidikan Sambil Kerja” mungkin tidak seratus persen baru karena sudah dijalankan di beberapa lembaga pendidikan tinggi. Sebagai contoh, di Universitas Indonesia, mahasiswa kurang mampu diberi kesempatan untuk magang sebagai staf administrasi di Pusat Administrasi Universitas atau pustakawan di perpustakaan. Sayangnya, di tingkat sekolah menengah program seperti ini masih jarang ditemui. Penting kiranya bagi sekolah menengah untuk menyediakan program magang seperti ini untuk memberikan kesempatan siswa kurang mampu bekerja sambil menempuh pendidikan menengah.
Beberapa SMK telah berhasil mendirikan unit usaha sendiri untuk memfasilitasi kegiatan produksi barang dan jasa oleh siswa-siswanya yang berorientasi profit. Salah satunya adalah SMKN 7 Yogyakarta yang memiliki unit usaha bernama UP. Karya Mega yang bergerak di lima bidang usaha, meliputi unit usaha bank mini, jasa pariwisata, kursus dan penyewaan, kantin dan toko, dan jasa fotokopi.[i] Unit usaha yang dimiliki SMK tersebut memiliki potensi yang sangat besar untuk menarik partisipasi pendidikan penduduk. Dengan memanfaatkan unit usaha sebagai tempat bekerja bagi siswa-siswanya, penduduk usia sekolah akan tertarik untuk menempuh pendidikan di SMK tersebut karena mereka bisa bersekolah sambil memperoleh penghasilan. Oleh karena itu, perlu kiranya bagi daerah-daerah yang memiliki tingkat partisipasi pendidikan menengah yang rendah untuk mengaplikasikan konsep ini. Pemerintah perlu mendorong dan memberikan dukungan bagi SMK-SMK di daerah untuk mendirikan unit usaha sekolah yang kelak akan dijalankan oleh siswa-siswa SMK tersebut untuk memperoleh penghasilan.
Di samping mampu meningkatkan partisipasi pendidikan penduduk, program “Pendidikan Sambil Kerja” dapat menjadi model pendidikan yang tepat untuk menumbuhkan kewirausahaan. Dengan menerapkan program ini, sekolah tidak hanya menjadi tempat menuntut ilmu yang sifatnya teoritis, tetapi juga mampu menjadi “laboratorium kewirausahaan” bagi siswa. Siswa akan mendapatkan pengalaman dan keahlian dalam menjalankan suatu unit usaha sambil mempraktikkan ilmu atau keterampilan yang diperolehnya. Hal ini akan melatih jiwa kewirausahaan siswa yang akan menjadi nilai tambah tersendiri bagi siswa tersebut. Sebagai contoh, siswa SMK Tata Busana tidak hanya mampu merancang dan menjahit pakaian, tetapi dengan program ini, siswa tersebut bisa mendapatkan pengalaman menjalankan unit usaha butik dan mempraktikkan strategi memasarkan pakaian yang dibuatnya. Bahkan, bukan tidak mungkin lulusan SMK tersebut akan menjadi pengusaha konveksi yang sukses. Dengan demikian, siswa menjadi lebih siap untuk berwirausaha setelah menyelesaikan pendidikannya dan mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat.
Pengembangan unit usaha dalam program ini juga diharapkan mampu mengembangkan kewirausahaan berdasarkan potensi sektor-sektor unggulan daerah dengan catatan daerah tersebut mempunyai SMK dengan bidang keahlian yang sesuai. Misalnya, provinsi Jambi yang memiliki potensi perkebunan kelapa sawit bisa mengembangkan unit usaha di bidang pengolahan kelapa sawit. Sebagai langkah nyata, SMKN 1 Sarolangun telah merencanakan pembangunan unit produksi pengolahan kelapa sawit yang semua prosesnya dilakukan oleh siswa SMK tersebut.[ii] Melalui unit usaha yang sesuai dengan sektor unggulan daerah, siswa akan mampu memanfaatkan potensi yang dimiliki daerahnya tersebut sebagai suatu peluang usaha yang kelak akan semakin mengasah bakat kewirausahaan. Maka dari itu, program “Pendidikan Sambil Kerja” mampu menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi daerah dengan pengembangan kewirausahaan berbasis potensi sektor unggulan daerah.
Pada akhirnya, program “Pendidikan Sambil Kerja” ini diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki jiwa kewirausahaan yang kuat dan sadar akan potensi sektor-sektor unggulan di daerah masing-masing. Selain itu, program ini juga melatih generasi muda menjadi lebih mandiri, tangguh, dan kreatif dalam menangkap setiap peluang yang ada sehingga mampu memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional.
Pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan Nasional, memiliki peran penting dalam penerapan program “Pendidikan Sambil Kerja” di sekolah-sekolah menengah dengan mengeluarkan regulasi yang mengatur pelaksanaan program ini dan memberikan dukungan pendanaan untuk pendirian unit-unit usaha sekolah pendukung program ini. Selain itu, pemerintah daerah harus melakukan sosialisasi secara luas mengenai program ini agar masyarakat mengetahui benefit-benefit yang bisa diperoleh dari program ini. Pemerintah, melalui Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah, juga dapat berperan dalam pemasaran produk-produk unggulan yang dihasilkan siswa-siswa dalam program ini, misalnya dengan menyediakan trading house bagi produk-produk unggulan SMK.[iii] Selanjutnya, pemerintah diharapkan konsisten menyediakan fasilitas permodalan bagi lulusan program ini yang ingin berwirausaha dan membuka usaha sendiri, misalnya melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan PNPM Mandiri. Dengan demikian, dampak positif dari program ini dapat berkelanjutan ditandai dengan banyaknya wirausahawan muda yang dihasilkan dari program ini dan berkurangnya angka pengangguran.
Pada dasarnya, tidak ada masalah yang tidak bisa dipecahkan jika kita mau terus berinovasi, demikian pula halnya dengan masalah rendahnya partisipasi pendidikan dan besarnya pengangguran di Indonesia. Program “Pendidikan Sambil Kerja” merupakan inovasi yang ditawarkan penulis kepada pemerintah untuk dapat memecahkan kedua permasalahan tersebut sekaligus. Program ini mampu memecahkan masalah rendahnya partisipasi pendidikan penduduk usia sekolah yang harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga dapat diselesaikan dengan memberi mereka kesempatan bersekolah sambil bekerja. Program ini juga mampu menjadi model pendidikan yang tepat untuk menumbuhkan kewirausahaan generasi muda dan diharapkan mampu melahirkan wirausahawan-wirausahawan muda di Indonesia untuk dapat mengatasi masalah pengangguran. Selanjutnya, keputusan ada di tangan pemerintah, apakah pemerintah akan membiarkan generasi muda Indonesia kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan formal hanya karena kondisi ekonomi yang serba kekurangan memaksa mereka untuk bekerja membantu orang tua atau sebaliknya, memberikan kesempatan mereka bekerja dan belajar tentang kewirausahaan tanpa harus kehilangan haknya untuk memperoleh pendidikan formal
[i] SMKN 7 Yogyakarta. “Unit Produksi SMKN 7 Yogyakarta.” http://smkn7jogja.sch.id/home/unitproduksi_smkn7yk.php (16 September 2010)
[ii] Dinas Pendidikan Provinsi Jambi. “SMK Perlu Bangun Unit Usaha Sendiri.” http://disdik.jambiprov.go.id/informasi/bantuan-pendidikan/101-smk-perlu-bangun-unit-usaha-sendiri.html (16 September 2010)
[iii] Radar Jogja. “Bupati Toyo Janji Siapkan Trading House.” http://www.radarjogja.co.id/berita/utama/10750-smk-i-panjatan-rintis-unit-usaha.html (16 September 2010)
0 Comments