Pemberlakuan ASEAN – China Free Trade Area (ACFTA) dapat dikatakan sebagai suatu peluang bagi industri domestik untuk melakukan ekspansi ke pasar Cina dan Asia Tenggara. Namun, pendapat ini masih diragukan karena dalam kenyataannya daya saing industri domestik Indonesia relatif masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan Cina dan negara-negara anggota ASEAN lain. Berdasarkan analisis Kementrian Perindustrian, daya saing produk-produk industri dan manufaktur Indonesia ke sesama negara ASEAN hanya 15% yang memiliki saing kuat dan hampir 60% produk memiliki daya saing yang lemah. Lain halnya terhadap Cina, daya saing produk Indonesia yang bersifat kuat hanya 7%, sisanya memiliki daya saing sedang 29% dan lemah 55%.[i]

Esai ini ditulis oleh Budiono dan Dharmesti Wulandari (Biro Penerbitan dan Informasi Kanopi FEUI 2010) yang diikutsertakan dalam OPINI 2 dan meraih Juara 2. 

Lalu, apakah sebenarnya yang menjadi penyebab rendahnya daya saing Indonesia apabila dibandingkan dengan Cina. Mari Elka Pangestu, Menteri Perdagangan Republik Indonesia, dalam suatu wawancara pernah menjelaskan bahwa daya saing atau competitiveness itu ditentukan oleh banyak faktor, meliputi faktor eksternal dan internal.[ii] Faktor eksternal sendiri berkaitan erat dengan daya saing dan keunggulan komparatif dari negara lain yang menjadi pesaing Indonesia. Sebagai contoh, produk X buatan Cina yang memiliki harga yang sangat murah dan skala produksi yang amat besar sulit untuk disaingi oleh Indonesia sehingga membuat daya saing Indonesia rendah untuk produk X tersebut apabila dibandingkan dengan Cina. Selain faktor eksternal, ada juga faktor internal yang menentukan daya saing produk, khususnya yang berkaitan dengan faktor domestik, meliputi sumber daya manusia/tenaga kerja, investasi, biaya produksi, dan teknologi. Faktor-faktor internal inilah yang memerlukan pembenahan dan perbaikan melalui perangkat kebijakan pemerintah yang menyeluruh.

Rendahnya daya saing produk Indonesia dalam perdagangan internasional yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dari dalam negeri dapat dikaitkan dengan adanya ekonomi biaya tinggi atau high cost economy yang masih eksis dalam perekonomian nasional. Terdapat beberapa aspek yang menimbulkan high cost economy di Indonesia, antara lain masalah tenaga kerja, masalah suku bunga kredit/biaya pinjaman yang tinggi, masalah birokrasi/politik yang memakan biaya tidak sedikit, dan masalah infrastruktur. Kelima aspek tersebut akan dipaparkan lebih lanjut untuk menganalisis penyebab high cost economy di Indonesia yang berimbas pada lemahnya daya saing produk dalam negeri dibandingkan dengan produk buatan Cina.

Masalah Tenaga Kerja

Masalah tenaga kerja/buruh merupakan salah satu penyebab timbulnya high cost economy di Indonesia. Hal ini pula yang menyebabkan daya saing produk mainan anak buatan Indonesia sulit bersaing dengan produk serupa buatan Cina. Widjanarko Tjokroadosumarto, Chairman Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia (APMI) mengungkapkan terdapat perbedaan perlakuan terhadap buruh yang kemudian menimbulkan pada high cost economy. Buruh di Cina memperoleh fasilitas lebih baik dibandingkan buruh di Indonesia.[iii] Meskipun hanya menerima gaji sebesar USD 100, buruh di Cina pada umumnya tidak perlu mengontrak rumah karena pemerintah daerah menyediakan mess pekerja yang disewakan dengan harga yang murah. Lain halnya dengan buruh di Indonesia yang 30% dari gajinya digunakan untuk biaya kontrak rumah.

Walaupun labor costs di Indonesia relatif lebih rendah daripada negara-negara ASEAN lainnya (kecuali Vietnam), biaya untuk memberhentikan tenaga kerja di Indonesia sangat tinggi apalagi saat terjadi pemberhentian karyawan dalam jumlah besar.[iv] Saat isu terjadinya PHK massal biasanya buruh di Indonesia melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pemberian pesangon yang tinggi. Hal ini kemudian turut pula menjadi penyebab high cost economy.

Selain itu, upah minimum regional di wilayah urban yang lebih tinggi membuat perusahaan banyak membangun pabrik dan mempekerjakan buruh di wilayah rural yang upah minimumnya lebih rendah. Hal ini kemudian akan berimplikasi pada meningkatnya biaya transportasi dan pengeluaran infrastruktur penunjang (kedua aspek ini akan dibahas pada bagian berikutnya).

Masalah Birokrasi

Masalah birokrasi dan faktor politik diyakini menjadi salah satu penyebab utama terjadinya high cost economy di Indonesia. Biaya birokrasi, baik yang resmi maupun tidak resmi di beberapa daerah dapat mencapai 20% dari biaya produksi. Tingginya biaya birokrasi tersebut pada akhirnya akan menyebabkan harga output yang diproduksi Indonesia menjadi lebih mahal bila dibandingkan dengan produk buatan Cina. Lebih lanjut, biaya high cost economy yang disebabkan biaya birokrasi ini juga akan membuat biaya ekspor Indonesia lebih tinggi daripada para kompetitornya, termasuk Cina.

Masalah birokrasi ini semakin diperparah dengan mental korup para pejabat pemerintahan. Untuk menjamin kelancaran usaha dan kemudahan dalam mengurus perizinan, tak jarang pengusaha-pengusaha harus memberikan uang pelicin kepada pejabat terkait. Jumlah uang pelicin yang diberikan pun jumlahnya tidak sedikit sehingga total biaya yang harus dikeluarkan pengusaha untuk menjalankan usaha semakin membengkak.

Masalah Suku Bunga Kredit

Berbeda dengan suku bunga di Cina yang relatif rendah guna menunjang pertumbuhan industri mereka, suku bunga kredit di Indonesia masih tinggi. Besarnya suku bunga ini berimplikasi pada semakin tingginya costs of loan yang harus ditanggung perusahaan untuk memperoleh sumber pembiayaan.

Lebih lanjut, suku bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang merupakan sumber pendanaan yang paling potensial bagi sektor UKM di Indonesia merupakan suku bunga kredit rakyat tertinggi kedua di dunia, setelah Myanmar.[v] Adapun, idealnya suku bunga kredit yang diperuntukkan bagi pengembangan sektor UKM harus berada di tingkat satu digit atau maksimal 10%. Kenyataannya, saat ini suku bunga KUR untuk usaha mikro di Indonesa untuk pinjaman Rp 20 juta ke bawah, sebesar 22%. Sementara itu, suku bunga KUR ritel untuk pinjaman Rp 20 juta-Rp 500 juta, sebesar 14%. Sedangkan, suku bunga kredit di Cina dan Thailand hanya berkisar pada level 4-8%. Oleh karena itu, produk-produk industri Cina dan Thailand memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan produk Indonesia.

Masalah Infrastruktur

Infrastruktur di Indonesia pada saat ini berada pada keadaan yang buruk dan membutuhkan perhatian khusus. Pada tahun 1994/1995 panjang jalan yang rusak masih berkisar pada 109.820 km. Akan tetapi, hingga tahun 2003 panjang jalan yang rusak sudah mencapai hampir 170.000 km. Berdasarkan perkiraan, untuk memperbaiki jalan tersebut memerlukan dana sekitar Rp 6,5 triliun. Jalan lintas Sumatera yang panjangnya 2343,5 km dan Pantura yang panjangnya 1.172,2 km tingkat kerusakannya hingga saat ini sudah mencapai 25 persen dan 22 persen, dan untuk memperbaikinya diperlukan dana sekitar Rp 5,3 triliun. Apabila keadaan seperti ini berlangsung terus maka dalam 10 tahun ke depan economic lost bidang ini akan mencapai 40-50 triliunan rupiah.
 

Permasalahan infrastruktur di Indonesia yaitu belum optimalnya kualitas pelayanan prasarana jalan, seperti masih banyaknya. jalan rusak di jalur ekonomi, keterbatasan akses dari pusat - pusat produksi ke daerah pemasaran, outlet maupun ke perkotaan dan jalan lintas yang ada belum optimal mendukung pengembangan wilayah. Menurunnya kualitas pelayanan prasarana jalan yang ada di jalur-jalur ekonomi terutama di Lintas Timur Sumatera dan Pantura Jawa, yang disebabkan muatan dan dimensi berlebih, serta terbatasnya dana pemeliharaan. Hal tersebut mengakibatkan biaya operasi kendaraan dan biaya distribusi barang menjadi mahal dan tingkat kompetitifnya menurun.

Pada dasarnya, ketersediaan infrastruktur yang memadai diharapkan dapat mengurangi high cost economy. Kondisi infrastruktur (khususnya infrastruktur jalan raya dan infrastruktur pelabuhan) yang kurang memadai di beberapa provinsi dapat menghambat kelancaran arus barang ekspor dan pengangkutan barang antardaerah sehingga mengharuskan perusahaan untuk mengeluarkan biaya tambahan. Apabila hal ini terus berlanjut, daya saing produk dalam negeri pun dipastikan akan semakin merosot.

Kesimpulan

Urgensi untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam konteks perdagangan internasional semakin mendorong pemerintah untuk mulai mengeliminasi penyebab-penyebab high cost economy di Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, aspek-aspek penyebab high cost economy di Indonesia terdiri dari empat masalah utama yang membutuhkan solusi masing-masing. Peran pemerintah sangatlah vital dalam hal ini, khususnya terkait dengan penyediaan infrastruktur dan regulasi yang jelas terkait masalah tenaga kerja dan penyaluran kredit sektor UMKM. Pembenahan dan perbaikan dalam hal pelayanan birokrasi juga harus diprioritaskan. Bank Indonesia sebagai otoritas moneter juga harus berperan aktif dalam memastikan penyaluran dana kredit ke berbagai sektor industri dengan suku bunga yang tidak terlalu tinggi agar dapat menekan costs of loan.

[i] Sinaga, P. (2010). Kajian Awal terhadap Kebijakan ACFTA. Retrieved July 26, 2010, from SMECDA.COM: www.smecda.com/File_ACFTA/kebijakan_acfta_PS.pdf.
[ii] Pangestu, M. E. (2010, August 30). Sulit Bersaing dengan Produk Massal. (Marchelo, Interviewer) taken from Media Indonesia newspaper.
[iii] Karina, S. (2010, 4 21). Mainan Indonesia Sulit Masuk Pasar China. Dipetik 12 2, 2010, dari Okezone.com: http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2010/04/21/320/325093/mainan-indonesia-sulit-masuk-pasar-china.
[iv] Gross, A., & Connor, A. (2009, 3). Indonesia in the Global Financial Crisis: What HR Managers Need to Know. Dipetik 12 2, 2010, dari http://www.pacificbridge.com/publication.asp?id=127.
[v] Suku Bunga Kredit Mikro Tertinggi Kedua di Dunia. (2010, 10 19). Dipetik 12 2, 2010, dari Bataviase.co.id: http://bataviase.co.id/node/424865