Ini kali pertama saya membaca tulisan karya Mochtar Lubis. Sebelumnya saya sudah tahu penulis sebagai seorang sastrawan dengan karyanya yang terkenal Harimau! Harimau! Akan tetapi, buku Catatan Perang Korea yang saya baca bukanlah sebuah karya fiksi, melainkan sebuah tulisan jurnalistik ketika penulis dikirim sebagai wartawan perang ke Korea Selatan. Awalnya saya tertarik untuk membaca buku ini karena penasaran mengenai seluk beluk mengenai perang Korea karena memang belum banyak tahu tentang sejarah peristiwa tersebut. Selama ini memang belum banyak cari tahu, hanya sebatas tahu latar belakang peperangan yang melibatkan dua blok besar pada saat itu dengan dua ideologi yang bertentangan.

Setelah mulai membaca buku ini, jujur sih awalnya sedikit bosan. Perlu diakui itu adalah salah satu kekurangan dari buku ini karena di luar ekspektasi pembaca. Penulis menceritakan secara cukup detail perjalanannya dari tanah air (tidak langsung di Korea). Akan tetapi gaya penceritaannya yang bergaya sastra membuat bacaan terasa nyaman dan dapat dinikmati secara perlahan. Kekurangan lainnya ada beberapa bagian narasinya yang disampaikan dapat menimbulkan bayangan yang kurang nyaman bagi sebagian pembaca, termasuk saya. Namun, ini bukanlah kekurangan yang berarti, cara penulis bercerita memang apa adanya dan sepertinya tidak ada yang ditutup-tutupi. Deskripsi situasi ketika penulis tiba dan berada di Korea dengan gambaran keadaan di sana ada membuat kita ikut merasakan pengalaman yang sungguh nyaman. Terutama ketika penulis menceritakan bebauan tidak enak yang dirasakannnya. Mengejutkan memang membaca cerita tentang pemanfaatan kotoran manusia di Korea saat itu. Benar-benar berbanding terbalik dengan keadaan Korea Selatan saat ini yang tergolong maju.

Setelah melewati bagian sepertiga awal dari buku ini, saya mulai menikmati penceritaan penulis dan bisa beradaptasi dengan situasi peperangan saat itu yang memang jauh sekali dari kata nyaman. Banyak cerita-cerita unik yang tidak pernah saya ketahui sebelumnya. Seperti mengenai adanya wartawan yang hanya menulis tentang kehebatan tentara mereka tanpa peduli dengan situasi sosial-politik yang ada, atau wartawan Turki yang gembira menemui penulis di sana karena sama-sama muslim. Buku ini menyajikan berbagai gambaran yang unik yang dapat ditemui di medan peperangan. Di sisi lain, meskipun buku ini bukanlah sebuah buku sejarah yang patut menjadi referensi ilmiah. Namun, banyak insight baru mengenai keadaan sosial-politik Korea pada saat itu. Termasuk penceritaan tentang tua tokoh Korea yang berlawanan saat itu Synghman Ree dan Kim Il Sung. Menarik membaca deskripsi penulisnya tentang keduanya yang terkesan netral dan tidak memihak salah satu kubu.

Kesimpulannya, buku ini sangatlah direkomendasikan bagi pembaca yang ingin mengalami situasi di medan perang Korea lewat tulisan. Penceritaannya begitu riil dan ditambah dengan insight menarik tentang sosial-politik Korea, dan diselipkan juga cerita mengenai peran Rusia dan Amerika Serikat di balik perang ini. Gaya penceritaannya yang luwes membuat buku ini enak dibaca seperti halnya buku sastra.