Pendakian pertama saya lakukan di bulan September 2015. Saya bersama kawan saya pada saat itu, Sekar dan Mada, hiking di Gunung Papandayan, Jawa Barat. Gunung berapi aktif yang menjadi salah satu destinasi wisata andalan di Garut ini memberikan pengalaman mendaki yang tak terlupakan. Hanya saja pendakian bukan untuk semua orang, Sekar salah satunya yang kapok dan tak mau mendaki gunung lagi.

Keindahan panorama Gunung Papandayan terpampang nyata.

Gagasan untuk mendaki gunung tercetus di pertengahan 2015, saat rasa jenuh pada rutinitas semakin menjadi-jadi. Singkat cerita akhirnya saya mendapatkan teman yang memiliki hasrat yang sama untuk menjadi pendaki pemula. Gunung Papandayan menjadi tujuan pendakian pertama kami karena banyak direkomendasikan untuk pendaki pemula seperti kami. 

Karena tidak memiliki pengalaman mendaki, kami memutuskan untuk mengikuti open trip pendakian dari informasi yang kami dapatkan di Internet. Kami mendaftar open trip ke Gunung Papandayan dengan harga yang cukup ekonomis, yaitu Rp 350,000. Pendakian ini diorganisir oleh Jelajah Garut dengan meeting point di Terminal Guntur, Garut. 

Jumat malam kami bertolak ke Garut dari Terminal Kampung Rambutan menggunakan bus antar kota. Sekitar pukul 03.00 dini hari kami tiba di Kota Garut dengan cuacanya yang dingin. Sontak kami pun memakai jaket yang kami bawa, lalu singgah di sebuah warung untuk menghangatkan diri dengan segelas sereal dan semangkuk mi instan sambil menunggu waktu penjemputan. 

Setelah matahari terbit, tim Jelajah Garut datang menjemput kami dan membawa kami ke markasnya yang terletak dekatalun-alun dan Masjid Kota Garut. Di sana kami diberi kesempatan untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Kami juga dibagikan peralatan mendaki yang disewa dari Jelajah Garut. Sekar dan saya menyewa matras dan kantung tidur, sementara Mada juga menyewa sepatu gunung. Setelah rombongan lain berkumpul, seluruh peserta dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari empat orang. Tiap-tiap kelompok mendapatkan bahan makanan dan alat masak untuk dimasak selama pendakian.

Menuju gerbang pendakian Gunung Papandayan.

Menjelang tengah hari, kami mulai pendakian kami di Gunung Papandayan. Sungguh permulaan yang butuh perjuangan. Kesungguhan kita diuji dengan panasnya sinar mentari dan juga debu vulkanik bercampur bau belerang. Sungguh pengalaman baru yang hampir tidak pernah kami alami sebelumnya. Namun, semua itu terbayar dengan pemandangan alam yang begitu indahnya. Tak jauh dari titik awal pendakian, kita pun disuguhi pemandangan kawah Papandayan yang menakjubkan.

Pemandangan alam di titik awal pendakian.

Pendakian di Gunung Papandayan bukanlah sesuatu yang berat. Banyak jalur yang landai dan dataran untuk beristirahat sejenak. Ditambah lagi adanya warung-warung yang siap menyambut para pendaki dengan semangka, gorengan, mi instan, dan minuman dingin tentunya. Nikmat sekali bukan? Selain itu, Papandayan memiliki beragam panorama alam yang mengundang decak kagum dan sayang jika tidak diabadikan.

Berpose di pinggir Kawah Papandayan.

Menjelang sore hari, rombongan tiba di Pondok Saladah, tempat berkemah yang tak ubahnya seperti objek wisata karena memiliki fasilitas yang cukup lengkap dengan warung makan, toilet umum, dan musola. Meskipun kala itu akhir pekan biasa, bukan masa liburan, Pondok Saladah sudah dipenuhi banyak tenda. Pemandu kami pun bergerilya hingga sedikit memasuki kawasan hutan untuk mencari lapak guna mendirikan tenda.

Di tengah perjalanan menuju Pondok Saladah.
Setelah tenda berdiri, masing-masing kelompok mulai menyiapkan masakan masing-masing. Surprisingly, ternyata di gunung kita bisa menanak nasi dan memasak lauk dan sayuran yang cukup lengkap. Sedap sekali rasanya menikmati masakan rumah dengan dikelilingi nuansa alam. Jika masih lapar, jangan khawatir karena banyak warung yang menyajikan mi instan, lontong tahu, gorengan, dan lain-lain. 

Senja menjelang, hari mulai gelap. Suhu pun mendadak jadi super dingin. Langsung saja saya menghangatkan diri dengan jaket gunung. Sebenarnya dari awal perjalanan tadi kita sudah memakai jaket gunung, namun ternyata gunung di siang hari panas dan terik sehingga kami pun melepasnya. 

Hari yang gelap, suhu yang dingin menimbulkan rasa mager yang amat sangat. Saya memilih untuk beristirahat di tenda usai makan malam. Di dalam tenda, saya membungkus diri dengan kantung tidur. Rasa dingin akhirnya dapat diblokir. Hari yang melelahkan membuat saya cepat terlelap malam itu. Sementara yang lain memilih untuk menyaksikan bintang-bintang Galaksi Bimasakti di langit malam Papandayan. 

Keesokan harinya, agenda kami dimulai pagi-pagi sekali untuk melihat matahari terbit atau sunrise. Menjelang subuh kami dibangunkan dan diminta untuk bersiap. Mada dan saya pun bergegas, namun Sekar memilih untuk tidak ikut. Sepertinya ia masih kelelahan dan tidak tahan dengan suhu pegunungan yang dingin.

Pemandangan matahari terbit di Gunung Papandayan, nampak Gunung Cikuray di kejauhan.
Goeber Hood menjadi tempat kami menyaksikan terbitnya matahari dari Papandayan. Nampak dalam pandangan kami Gunung Cikuray yang merupakan gunung tertinggi di Garut. Perlahan mentari pun mulai meninggi, kami kembali berjalan ke destinasi selanjutnya, yaitu Hutan Mati. 

Tak lama, kami tiba di Hutan Mati. Erupsi Kawah Papandayan membuat pepohonan di atasnya menjadi mati. Tanah yang dipijak pun memutih bercampur abu vulkanik. Pemandangan yang sekilas mengingatkan pada suasana Kawah Putih di Ciwidey, Bandung. Bedanya area Hutan Mati Papandayan lebih luas.

Hamparan edelweiss di Tegal Alun.

Puas menikmati Hutan Mati, kami mendaki ke Tegal Alun. Di sanalah kami dapat melihat hamparan padang edelweiss yang sangat lebat. Pemandangan indah yang jarang ditemui karena tidak semua gunung memiliki alun-alun yang dihiasi tanaman edelweiss yang begitu lebatnya. Sayangnya, tidak semua orang memiliki itikad baik untuk menjaga kelestarian alam karena ada saja tangan-tangan nakal yang memetik bunga, mencorat-coret papan penanda, hingga buang sampah sembarangan.

Sekar berpose di Hutan Mati saat perjalanan pulang.
Lengkap sudah pengalaman mendaki saya di Gunung Papandayan. Sayang sekali jika harus melewatkan semua itu. Saya pun kembali ke tenda untuk makan siang lalu bersiap pulang. Jalur turun yang kami tempuh sedikit berbeda dari jalur pendakian kemarin karena kami berkesempatan kembali melewati Hutan Mati.  Rombongan pun mengabadikan momen kebersamaan sebelum kami pulang ke kota masing-masing. Pada akhirnya Papandayan menjadi permulaan yang indah untuk memulai pendakian bersama kawan.