Jam menunjukkan pukul 01.00 WIB dini hari. Waktunya untuk bersiap memulai perjalanan utama, mendaki Anak Krakatau. Dari jadwal yang diberikan, pendakian gunung berapi dengan ketinggian 813 meter dari permukaan laut ini memang diagendakan menjelang fajar. Suatu rencana yang baik agar pendakian tidak terlalu panas (namun realisasinya tidak demikian). Di hari yang masih gelap kami beriring menuju kapal. Perjalanan terasa cukup lama sekitar 2-3 jam, aku pun tertidur pulas melanjutkan sisa tidurku di kapal.
Rencana tinggal rencana, mentari sudah mulai meninggi tatkala kapal yang membawa kami bersauh di Cagar Alam Anak Krakatau. Pemandu kami mempersilakan para pejalan untuk berganti pakaian dan menikmati sarapan sebelum pendakian dimulai. Di pulau yang merupakan kawasan cagar alam itu terdapat toilet umum yang bisa digunakan. Ada pula pos penjagaan.
Usai berganti pakaian dan sarapan dengan nasi uduk, tak lupa saya mengabadikan momen di depan tugu nama Cagar Alam Anak Krakatau. Tidak jauh dari situ, terpasang papan informasi yang menjelaskan tentang sejarah letusan Krakatau dari masa ke masa. Menarik sekali karena di papan tersebut terpampang nyata kisah letusan mahadahsyat sang Krakatau.
Krakatau ternyata memiliki sejarah yang sangat panjang sejak zaman purba. Bermula dari gunung berapi Krakatau Besar di zaman prasejarah yang meletus membentuk tiga pulau, yaitu Rakata, Panjang, dan Sertung. Pertumbuhan lava berlanjut di Rakata, muncul pula dua gunung vulkanik baru, yaitu Danan dan Perbuatan. Pada 27 Agustus 1883, letusan mahadahsyat Krakatau yang tersohor hingga mancanegara telah memporak-porandakan 60% pulau di mana ketiga gunung berapi (Rakata, Danan, Perbuatan) berada atau lebih dikenal sebagai Krakatau. Aktivitas vulkanik terus berlanjut hingga saat ini membentuk pulau dan gunung baru yang dikenal sebagai Anak Krakatau, tempat yang saat ini saya pijak, yang letaknya berseberangan dengan Pulau Rakata.
Sebelum pendakian dimulai, rombongan sempat berfoto bersama yang kemudian disusul dengan pengarahan singkat dari pemandu. Kami pun mendaki dengan penuh antusiasme. Selangkah demi selangkah kami mulai memasuki hutan di Cagar Alam Anak Krakatau. Makin lama pendakian pun semakin terasa berat, namun tidak seberat gunung api di Jawa yang relatif lebih curang dan harus ditempuh berjam-jam.
Seperti halnya gunung berapi aktif lainnya, semakin mendekati puncak gunung atau bibir kawah, tak ditemui lagi vegetasi. Pendakian pun terasa lebih berat dengan trek berpasir dan sengatan sinar matahari yang tak kenal ampun. Untungnya, pasir di Anak Krakatau tidak seperti pasir di Semeru yang mudah longsor saat diinjak. Pasir di Anak Krakatau lebih padat saat diinjak sehingga pendaki tidak harus mengeluarkan ekstra tenaga untuk mendaki. Mungkin pendakian ini akan lebih nikmat jika dilakukan sebelum mentari terbit.
Akhirnya, sampai juga kami di punggungan Gunung Anak Krakatau yang menjadi "puncak" pendakian kami hari itu. Terlalu berbahaya jika ingin melanjutkan pendakian sampai puncak yang juga merupakan bibir kawahnya yang masih aktif itu. Tanpa tunggu lama para pejalan, termasuk saya dan kawan-kawan mulai mengabadikan momen di Gunung Anak Krakatau. Buah dari perjuangan mendaki di bawah teriknya sinar sang surya di penghujung tahun 2017.
Puas sudah berfoto di Anak Krakatau, perlahan kami turun kembali ke bibir pantai berpasir hitam tempat perahu berlabuh. Kami pun berganti pakaian untuk snorkeling kedua sesuai agenda hari itu. Kapal kami pun mulai bergerak menjauh dari Cagar Alam Anak Krakatau.
Dari kejauhan, pemandangan Anak Krakatau yang tenang mengingatkan saya pada karakter fiksi "Te Fiti" dalam film animasi "Moana". Mungkin saat gunung api itu meletus amarahnya akan sama menyeramkannya seperti "Te Ka" di film itu. Saya pun berpikir bahwa perjalanan ke Anak Krakatau ini tak ubahnya wisata ala Moana di Lampung. Pulau sebesi yang kami singgahi pun tak ubahnya pulau tempat Moana dan penduduk desanya tinggal. Sebuah pulau kecil dengan gunung dan bukit yang cukup tinggi.
Perlahan kami menjauh dari Anak Krakatau, lalu tiba di titik snorkeling. Cuaca yang panas, membuat kami bersemangat untuk cepat-cepat terjun ke laut. Snorkeling di hari kedua ini memberikan pengalaman berbeda dari hari kemarin karena terumbu karang yang lebih indah dipandang. Meskipun demikian, ikan berwarna-warni hampir tak dapat kami jumpai. Belum lagi masalah di snorkel saya yang mengalami kebocoran. Saya pun lebih memilih untuk menikmati berenang di laut lepas sambil sesekali mengabadikan foto dengan kamera aksi. Setelah puas snorkeling, kami pun meluncur kembali ke penginapan.
Perjalanan pulang terasa lebih lama dan menyiksa. Cuaca yang panas dan kapal yang terombang-ambing membuat saya dan pejalan lain kurang dapat menikmati perjalanan pulang ke Pulau Sebesi. Saya pun nyaris mabuk laut. Untuk mengurangi rasa pusing, saya melemparkan pandangan ke pulau-pulau yang kami lewati. Ternyata banyak pula pulau kecil berpenghuni. Entah bagaimana rasanya hidup di sana.
Tengah hari kami tiba di Pulau Sebesi. Kami diminta bersiap untuk packing karena akan segera bertolak kembali ke Dermaga Canti untuk selanjutnya kembali ke Jawa via Bakauheuni-Merak. Dalam perjalanan ke Canti, saya memilih untuk tidur saja dan tanpa terasa akhirnya tiba pula. Ternyata perjalanan dari Sebesi ke Canti tidak begitu lama, mungkin hanya sekitar dua jam saja. Angkot yang sama pun kembali membawa kami ke Bakauheuni. Kami tidak sempat mampir ke pusat oleh-oleh. Namun, di Bakauheuni pun banyak toko oleh-oleh dengan harga yang cukup bersahabat. Kami pun menyempatkan belanja oleh-oleh sebelum feri membawa kami pulang ke Pulau Jawa. (Selesai)
0 Comments