Papandayan bisa dibilang telah menjadi gerbang bagi saya (atau mungkin banyak pendaki lainnya) untuk mulai menekuni pendakian atau hiking sebagai hobi baru. Memang ada kenikmatan tersendiri tatkala menghabiskan waktu di alam terbuka, rasanya begitu damai bisa terbebas sejenak dari rutinitas. Kepuasan pun terasa begitu nyata ketika berhasil meraih ketinggian dengan penuh peluh dan perjuangan. Lalu, setelah Papandayan, berikutnya ke mana?

Jalur pendakian Gunung Cikuray dengan latar belakang Gunung Papandayan.

Selain Papandayan, Garut memiliki tiga gunung lain yang jadi favorit para pendaki, yaitu Guntur dan Cikuray yang kerap disingkat Paguci. Di antara ketiganya, Cikuray yang tertinggi dan berhak menyandang gelar "Atap Garut". Entah nekad atau apalah alasannya, saya menetapkan Cikuray sebagai tujuan pendakian saya berikutnya di pertengahan Januari 2016 silam. Meskipun banyak yang bilang pendakian Cikuray sangatlah curam dan menantang, tidak menyurutkan tekad saya untuk menaklukkannya. We don't know how high we can climb if we don't go on a hike, right?

Seperti pendakian sebelumnya saya memutuskan untuk ikut open trip saja, daripada harus cari barengan. Maklum karena teman-teman saya tidak banyak yang gemar mendaki dan mencari barengan di forum pendakian terasa kurang praktis. Kali ini saya memilih Setapak Adventure. 

Jumat malam, peserta trip berkumpul di lapangan parkir Terminal Kampung Rambutan. Sekitar pukul 3-4 dini hari, kami tiba di basecamp pendakian yang bangunannya berbentuk pondok dengan balai terbuka. Kami dipersilakan untuk melepas kantuk sejenak. Dinginnya udara pagi itu, membuat kami tertidur lelap dalam balutan kantung tidur.

Ketika hari sudah terang, kami diberi kesempatan untuk sarapan, mandi, dan bersiap untuk melakukan pendakian. Mobil mengantarkan kami sampai SDN Cintanagara 3. Setelah itu, kami mulai menapaki jalur pendakian dengan melewati perkebunan yang amat luas.


Salah satu kebun yang kami lalui, budidaya kubis atau kol.

Pemandangan yang disuguhkan memanjakan mata. Di hadapan kami berdiri tegak Gunung Cikuray, sementara di belakang kami terlihat jajaran Gunung Papandayan dari kejauhan. Tak terasa kami pun tiba di Pos 1, tempat di mana para pendaki mendaftarkan diri. 

Perjalanan dilanjutkan ke Pos 2, jalur yang dilalui pun semakin curam meskipun kami masih berada di area perkebunan. Trek pendakian yang cukup menguras tenaga tersebut membuat dua peserta yang merupakan pasangan kekasih memutuskan untuk mundur dari pendakian ini setelah sampai di Pos 2 yang berbentuk warung.

Sayangnya, warung di Pos 2 sedang tutup dan tidak berjualan di hari itu sehingga kami harus memasak sendiri. Kami pun memasak dengan air bersih yang kami peroleh dari selang irigasi kebun. Setelah istirahat dan mengisi perut sejenak di pos peristirahatan tersebut, kami melanjutkan pendakian sementara sepasang kekasih itu undur diri dan turun kembali di basecamp. Pendakian Cikuray sepertinya tidak direkomendasikan untuk pemula.

Pemandangan dari Pos 2.
Tanjakan curam yang kami lalui dalam perjalanan  dari Pos 1 ke Pos 2 disebut Tanjakan Ombing 1. Selepas dari Pos 2, kami disambut lagi dengan jalur terjal yang dijuluki Tanjakan Ombing 2 yang memang bisa membuat para pendaki terombang-ambing. Kekuatan kaki dari tumit, betis, lutut hingga paha sangat diandalkan untuk bisa melaluinya. Bahkan muncul pemeo yang bilang mendaki Cikuray bisa membuat lutut bertemu kepala, kepala bertemu lutut. Kata-kata itu dirasa tepat untuk menggambarkan curamnya jalur pendakian yang nyaris vertikal.

Tanjakan demi tanjakan kami lalui mulai dari yang tidak begitu curam sampai yang hampir vertikal. Benar-benar pengalaman pendakian yang sangat menguji kekuatan fisik dan mental. Salah satu yang paling berkesan adalah Tanjakan Roheng. Tidak terdapat bangunan permanen di Pos 3 hingga Pos 6. Pos-pos tersebut hanya berupa dataran yang bisa digunakan untuk mendirikan 2-3 tenda.

Awalnya kami berencana untuk berkemah di Pos 6 untuk kemudian melakukan summit ke puncak keesokan harinya menjelang matahari terbit. Karena hari masih terang dan kami masih mampu untuk lanjut mendaki, kami memutuskan untuk berkemah di Puncak Cikuray. Meskipun sebenarnya berkemah di puncak tidak sepenuhnya diperbolehkan karena bisa membahayakan jika cuaca buruk seperti badai dan hujan disertai petir. Saat itu kami optimis cuaca akan baik-baik saja, mengingat banyak pula rombongan lain yang berkemah di Puncak Cikuray.

Mendekati puncak, jalur pendakian semakin curam dan berbatu. Satu per satu batu besar harus dipijak guna mencapai puncak tertinggi di wilayah Garut ini. Saya dan rombongan pun telah sampai di Puncak Cikuray sebelum petang menjelang. Akhirnya saya berhasil menggapai "Atap Garut", suatu pencapaian baru. Badan pun ikut capai dibuatnya.

Awan mengelilingi Puncak Cikuray.
Pemandangan dari puncak begitu menawan, apalagi komposisi awan dan latar panorama Gunung Papandayan berpadu indah dengan terbenamnya matahari. Sayangnya, kondisi Puncak Cikuray kala itu begitu memprihatinkan karena banyak sampah yang bertebaran. Sepertinya masih banyak yang belum sadar kalau gunung itu bukan tempat sampah.

Akhirnya berhasil menggapai Atap Garut.

Rombongan kami kala itu hanya terdiri dari lima orang ditambah satu orang pemandu. Dua tenda telah didirikan untuk kami beristirahat. Setelah makan malam, kami pun berlindung di balik tenda dan kantung tidur dari dinginnya malam di Puncak Cikuray.

Hembusan angin membuat malam itu semakin dingin saja. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa kami tidak memakai matras di dalam tenda karena tidak ada yang membawa. Rasa dingin pun menembus kantung tidur dan membuat saya beserta kawan saya, Mada dan Oming, tidak dapat tidur dengan nyenyak.

Oming (kanan) dan Mada (kiri) bersiap untuk turun.
Pagi hari pun tiba, akan tetapi cuaca sepertinya kurang bersahabat sehingga kami tidak dapat menyaksikan matahari terbit di tengah samudera awan yang menjadi daya tarik Gunung Cikuray. Sedikit kecewa memang tidak bisa melihat hamparan awan nan luas dari Puncak Cikuray. Pagi itu cuaca mendung berawan dengan rintik-rintik gerimis, maklum musim hujan. Mungkin sebaiknya pendakian dilakukan di musim kemarau.

Selesai sarapan dan berdoa, kami turun dari Puncak Cikuray. Perjalanan turun berlangsung lebih cepat karena tidak memerlukan banyak tenaga seperti saat mendaki. Walaupun demikian, menuruni jalur yang terjal juga memerlukan effort (usaha) tersendiri. Kekuatan lutut dan telapak kaki kembali diuji karena harus bisa menahan beban tubuh agar tidak terpeleset saat turun. Konsekuensi lainnya adalah hantaman dan gesekan antara ujung jari kaki dengan sepatu perlahan-lahan menimbulkan rasa nyeri.

Meskipun kaki sedikit mengalami cidera ringan, menjelang tengah hari saya beserta teman sependakian tiba di Pos 2. Beruntung, hari itu warung di Pos 2 buka dan menjajakan gorengan. Sedap betul akhirnya bisa beristirahat memulihkan tenaga sambil menikmati gorengan hangat. Setelah kenyang perut kenyang, kami lanjutkan perjalanan turun kembali ke SDN Cintanagara 3. Mobil pun sudah siap menjemput kami kembali ke basecamp untuk selanjutnya mengantar kami pulang ke Jakarta.