Krakatau adalah gunung api termasyur yang pernah berdiri kokoh di antara Pulau Jawa dan Sumatera. Gunung ini telah meletus ratusan tahun lalu yang 60% daratannya pun telah luluh lantak. Yang tersisa kini tinggal Pulau Rakata dan gunung api baru yang dikenal sebagai Anak Krakatau.
Tahun demi tahun, Anak Krakatau tumbuh menciptakan suksesi kehidupan baru, menjadi sebuah pulau yang ditetapkan sebagai Cagar Alam Krakatau. Cerita masa lampau akan dahsyatnya letusan Krakatau telah membuat Anak Krakatau menjadi salah satu tujuan wisata unggulan provinsi Lampung yang menarik banyak pengunjung. Tak terkecuali saya, yang sudah menyimpan keinginan berkunjung ke sana sejak dua tahun lalu, tetapi baru akhir tahun lalu terwujud.
Untuk berwisata ke Anak Krakatau, kita bisa menumpang kapal berukuran kecil atau sedang dari Dermaga Canti di Lampung. Seperti biasa karena tidak ingin ribet dengan urusan sewa-menyewa kapal, saya lebih memilih untuk mengikuti open trip saja. Ada satu open trip yang memberikan paket menarik seharga Rp 350 ribu, yaitu dari Get Lost Backpacker. Sayangnya harga tersebut tidak mencakup ongkos transportasi pulang pergi Jakarta - Merak dan sewa alat snorkeling selama 2 hari seharga Rp 100 ribu.
Jumat malam sekitar pukul 22.00 WIB, kami sudah berkumpul di Pelabuhan Merak, Banten. Pemandu open trip sudah bersiap mengumpulkan para peserta pelancongan untuk kemudian dipesankan tiket kapal feri untuk menyebrang ke Pelabuhan Bakauheuni, Lampung. Jangan lupa siapkan kartu identitas untuk pemesanan tiket ini, sudah seperti pesan tiket kereta dan pesawat saja.
Teman seperjalanan saya saat itu adalah Mada, Toni dengan teman wanitanya Rini, Rifal dengan teman wanitanya Tuti, serta 24 pejalan lain yang mengikuti open trip ini. Lewat tengah malam menjelang pukul 01.00 dini hari, kami baru berangkat masuk ke kapal.
Masuk ke dalam kapal feri, kami bergegas mencari kabin untuk bisa berbaring dan tidur sejenak menghabiskan waktu perjalanan di hari yang masih gelap. Kabin demi kabin kami telusuri, namun sepertinya sudah banyak yang menempati. Sebelumnya saya pernah melakukan perjalanan yang sama, namun tidak seramai ini. Kala itu saya masih bisa mendapatkan kabin untuk tidur selama perjalanan hingga kapal merapat di Bakauheni.
Putus asa, kami pun putar balik ke tempat duduk. Apesnya kursi dan bangku yang tersedia pun telah banyak terisi. Karena tidak kebagian, terpaksa kami duduk di emperan. Untungnya, Toni berinisiatif mengeksplorasi seluruh bagian di kapal dan menemukan kabin untuk berbaring yang masih kosong dan cukup untuk kita semua. Lucky! Tanpa banyak omong, kami pun buru-buru meluncur sebelum ada orang lain yang menempati. Akhirnya kami pun bisa berbaring melepas lelah dan terlelap beberapa jam.
Penyeberangan memakan waktu 2-3 jam saja. Siap-siap terbangun dengan mata panda. Kami bergegas keluar setelah ada pengumuman bahwa kapal telah merapat. Turun dari kapal kami disambut fajar di bumi Swarnadwipa. Kami diminta untuk menunggu di depan Indomaret karena ternyata ada rombongan susulan yang naik kapal setelah kami. Hmm.. Sepertinya akan lama, gumamku. Tetapi tak mengapa, hitung-hitung menunggu waktu subuh.
![]() |
Pagi berawan di Dermaga Canti. |
Setelah mentari terbit kami siap melanjutkan perjalanan menaiki angkot yang disediakan penyelenggara menuju ke Dermaga Canti. Jalanan yang sepi membuat sopir angkot yang kami tumpangi mengemudi dengan kecepatan penuh. Sedikit waswas, tetapi syukurlah bisa sampai pula dengan selamat Setibanya di Canti, kami bersiap berganti kostum dan sarapan di sebuah warung nasi.
![]() |
Titian kayu dermaga. |
Pagi itu tidak banyak kapal bersauh di dermaga. Sepertinya dermaga ini memang diperuntukkan untuk aktivitas pariwisata saja di akhir pekan. Jangan bayangkan Canti seperti Muara Angke yang hiruk pikuk dengan puluhan perahu berjejer. Sebaliknya Canti yang sepi di pagi berawan itu menimbulkan nuansa syahdu. (Bersambung)
0 Comments