Belum genap sebulan aku mengenalnya, tapi
namanya kerap dikait-kaitkan dengan namaku. Mengapa demikian? Apakah karena aku
gemar betul memanggil namanya. Sulistya, sebuah nama yang jarang ku jumpai.
"Sulli... Sulli..." begitu biasa aku memanggilnya. Walaupun tak ada
sesuatu hal yang ingin ku bicarakan dengannya, aku sebut nama itu. Ini
memberikan kebahagiaan tersendiri. Bagiku, Sulli adalah nama yang membawa
bermiliar-miliar
kesejukan di dalam sanubari yang hampa akan cinta. “Sulli... Sulli...” terus ku
ucap nama itu hingga ia beserta orang-orang yang ada di antara kami berdua
bosan mendengarnya. Mereka pun kesal dibuatnya. Bisa jadi ini telah menjadi
eksternalitas negatif, tapi ku tak mau peduli, ku terus memanggil nama itu, “Sulli...
Sulli... Sulli...”
Satu hal yang ku tanamkan dalam hati, Sulli
tak mungkin mencintaiku. Ia akan selalu memandang diriku sebagai orang tak jelas, yang
takkan pernah bisa ia mengerti. Mungkin akulah satu-satunya pria yang tak
henti-hentinya menyerukan namanya di sepanjang hari. Andai ia tahu, panggilan
itu asalnya dari hati. Layaknya deklarasi, Sulli melambangkan suatu rasa yang
tak pernah ada sebelumnya. Seruan itu, “Sulli...” merupakan bukti eksistensi
seorang individu yang ingin dekat dengannya. Sulli adalah seberkas cinta yang
menyinari dan mewarnai hari-harinya. Tanpa Sulli, hidupnya tak ubahnya layar
monokrom yang miskin warna lagi redup ditelan masa. Berjuta kebahagiaan dan
warna cinta jelas tersirat dari panggilan-panggilan Sulli yang keluar bibir
ini.
Suatu hari, Sulli dan aku berdiam di ruang
yang sama. Tidak sampai semeter jarak kami. Teman yang lain sepertinya sengaja
tinggalkan kami berdua agar kami bisa saling bicara. Sulli membuka mulutnya,
mengungkapkan apa yang selama ini ia simpan dalam sanubarinya. Sepertinya dia
kesal.
"Mengapa kau bersikap seperti itu
kepadaku?" ujarnya memecah keheningan. "Mengapa bukan wanita lain
saja? Mereka lebih muda."
Aku sudah menyangka ia akan berkata demikian. Mempertanyakan
apa yang telah ku perbuat padanya. Aku berusaha menanggapi dengan kepala dingin
bukan batu. Kecil kemungkinan bagiku untuk terang-terangan mengatakan bahwa aku
mencintainya karena itu bukan perasaan yang sebenarnya. Aku terdiam, kemudian
berusaha menjawab sebaik aku bisa.
Karena kau adalah pribadi yang istimewa yang
ku kenal di sini. Sejak hari pertamaku di sini, tak henti-hentinya aku
mendengar orang membicarakan dirimu. “Sosok yang spesial” pikirku setiap kali
mendengar deskripsi orang tentangmu. Seminggu kemudian kau kembali, tak ada
sedikit pun sesal telah mempercayai omongan orang tentangmu. Kau memang
berbeda dan spesial. Pantas apabila banyak yang kehilangan ketika kau pergi
walaupun hanya seminggu.
Keramahanmu padaku juga mengukir kebahagiaan
tersendiri di hatiku. Bukan cinta, namun hanya ketulusan yang belum pernah kurasakan
sebelumnya. Kecantikanmu terang memancar, menyilaukan. Layaknya insan yang
lemah iman, aku bisa tergoda pula. Namun yang paling menggoda adalah pribadimu
yang peduli pada sekitar. Jiwa sosial yang kau miliki membuatmu layaknya
seorang dewi surgawi di mataku. Iman tak lagi kuat menahan semua ini. Godaan
yang teramat dahsyat, aku pun mulai memanggil namamu “Sulli... Sulli...
Sulli...” tanpa henti seperti echo. Lamunanku melayang mencari-cari alasan. Omong
kosong macam apa itu?
Aku hanya bisa tersenyum simpul menanggapi
pertanyaannya yang sepertinya serius. Aku tak mampu merangkai kata untuk
buatkannya jawaban. Aku tahu bahwa segala tindak tandukku selama ini telah
menumbuhkan kesalahpahaman tentang hubungan kami berdua. Semua rekan kerja
seakan tak ada hentinya menggoda kita. Hubungan kita memang mesra dan dekat
sebagai teman. Terkadang memanas bak air mendidih, kemudian dingin lagi, kembali segar seperti baru
diambil dari dalam kulkas.
Sulli mungkin sudah merasa sangat tidak
nyaman dengan segala perlakuanku kepadanya. Aku heran karena ini bukan
kekerasan. Yang kudapati malah keras hatinya yang tak kunjung luluh dengan
bujuk cintaku. Sedari awal aku mengenalnya, memang ada sesuatu yang berbeda yang
membuatku ingin lebih akrab dengannya. Bisa dibilang ia wanita cerdas. Tak
hanya berperangai santun, berpikir kritis sudah jadi budayanya. Buah pikirannya
tak sedikit yang ditelurkan jadi karya tulis ilmiah. Beragam konferensi pun telah ia jamahi. Sungguh
itu semua buatku kagum.
“Maaf...” ucapku lirih, menjawab
pertanyaannya tadi. “Maafkan aku Sulli, aku tidak bermaksud membuatmu merasa
tidak nyaman. Aku hanya ingin berteman akrab denganmu. Karena bagiku kau adalah
sosok wanita muslimah yang santun dan berwawasan. Aku berjanji tak akan mengulanginya
lagi, Sul.”
Aku pun tersenyum, berusaha menyakinkannya
dengan penuh keseriusan. “Sulli... Sulli... Sul...” untuk sementara echo itu pun harus redup
di tengah bungkam janjiku padanya.
“Baiklah, jangan kau seperti itu lagi padaku.
Sungguh kau telah membuatku risih,” kata Sulli menerima maaf dan janjiku
padanya.
Janji tinggallah janji. Aku tak sanggup
melawan godaan batin. Ingin terus ku memujanya, “Sulli... Sulli...” Ia pun
kesal. Sebentar marah, sebentar tersenyum, lalu marah lagi, seakan tak akan
pernah ia memaafkanku. Tapi kita sama-sama tahu. Ia muslimah, aku muslim, pasti
akan selalu saling memaafkan, paling tidak setahun sekali. Lama-lama ia pun
memaklumkan.
Konflik-konflik kecil menumbuhkan keakraban antara kita.
Ia tak risih lagi berkeluh kesah asmara di hadapanku. Walaupun terkadang masih
ada pula amarah, sebenarnya dia adalah seorang dara pemalu untuk urusan jodoh.
Salah besar memang apabila ia mengutarakan mimpi-mimpi manisnya akan cinta
kepadaku. Jujur saja, aku sama sekali tak berpengalaman dalam urusan
percintaan. Tak ada waktu tersisa untuk bercinta. Baru belakangan aku merasakan
kesepian karena bagaimana pun seorang insan butuh cinta. Walaupun demikian, kegelisahan
seorang wanita sudah barang tentu lebih besar ketimbang seorang pria. Wanita
dipilih bukan memilih. Wanita dilamar bukan melamar. Aku pun berusaha
memahaminya. Sebisa mungkin ku besarkan hati setiap gadis yang mencurahkan
kegelisahan hati akan jodoh yang tak kunjung menghampiri. Begitu pula halnya
dengan Sulli.
Lambat laun aku pun tahu. Sulli telah
memiliki pujaan hati. Tertusuk rasanya hati ini begitu tahu kenyataannya. Walau
dari awal aku sudah menyadari, cintanya tak mungkin terbagi untukku. Aku
bukanlah sosok lelaki yang bisa merenggut hatinya, menahkodai bahtera rumah
tangganya, bukan pula yang bisa menafkahi kehidupannya lahir dan batin. Di sisi
lain aku senang, semua kriteria pria idaman yang ada di benaknya tak sekadar
imajinasi. Orang itu telah hadir menemaninya hingga detik ini, meski itu bukan
aku. Statusnya masih pujaan hati, segala perasaan masih terkungkung dalam hati.
Dia belum tahu perasaan pria itu kepadanya, cinta masih dikirimkan satu arah.
Aku harus menerima kenyataan, peranku dalam hidupnya hanyalah teman, tidak lebih.
Aku mainkan peran itu dengan sebaik-baiknya. Kecewa baiknya ditutupi
rapat-rapat, saatnya menjadi penyemangat bagi cintanya meski bukan untukku. Aku
senantiasa menjadi pendengar yang setia atas keluh kesah cintanya.
Tak sanggup, jujur aku tak sanggup lagi.
Kerjaanku mulai amburadul. Pikiranku tak lagi mumpuni. Kenyataan pahit tentangnya
yang kini telah memuja seorang pria yang menurutnya sempurna tak henti-hentinya
mengganggu pikiranku. Aku merasakan hal yang sungguh aneh. Aku selalu bilang ku
tak mencintainya, hanya berteman saja, tetapi entah mengapa aku begitu terusik
dengan kenyataan ini. Tuhan, apa yang harus ku lakukan? Senyum dan tawa memang
senantiasa terlukis cerah di wajahku. Namun, di balik itu semua, hatiku
teriris. Tanpa beban, ia selalu kisahkan pertemuannya dengan sang lelaki
idaman. Aku tetap menjadi pendengar setianya, kadang ku ungkapkan bahwa ku turut bahagia
dan mendoakan jika memang mereka berjodoh. Di sisi lain, aku tak sepenuhnya
rela melihatnya dengan pria lain. Apa yang harus ku lakukan? “Sulli... Sulli...
Sulli...”
Tak lama kemudian, tawaran untuk berkarya di
tempat lain datang menghampiriku, suatu jalan untuk keluar dari kehidupannya. Tekadku
bulat sudah untuk mengambil kesempatan ini. Aku tetapkan untuk menjauh darinya.
Aku mundur, mengundurkan diri dari kehidupannya. Mungkin dengan demikian,
penderitaan yang ku rasakan bisa sedikit reda. Meskipun berat bagiku untuk
pergi, aku yakin ini yang terbaik. Dengan menjauh darinya kelak dapat pula ku
meraih bahagia. Aku tahu ini aneh, seseorang yang selalu ku lafalkan namanya
kini tidak lagi menghiasi hari-hariku. Lama-lama juga terbiasa. Tanpa berpikir lama,
kata perpisahan pun ku ucapkan. Mungkin sudah jalan bagiku, menjauh dari cinta dan citanya.
“Sulli... Sul... Sul...” gaungnya pun meredup dan nyaris tak terdengar lagi.
“Sulli.....”
(Ditayangkan ulang dari blog Econochemist)
0 Comments