Bicara tentang Yogyakarta pasti akan panjang ceritanya. Banyak destinasi wisata beserta pernak-pernik khas yang menggoda siapa saja untuk berkunjung ke sana lagi dan lagi. Terakhir kali saya menginjakkan kaki di kota gudeg ini dua tahun lalu. Saya mengawali rangkaian vakansi saya di Prambanan. Saya pun dapat menemukan pelajaran berharga dari sejarah kejayaan Mataram Kuno di masa silam. Apakah gerangan pelajaran itu?

Tour de Yogyakarta saya kali ini bermula di kompleks candi Hindu paling megah di Indonesia, Prambanan. Ini adalah kali pertama bagi saya. Sejak lama saya ingin berkunjung ke sana dan baru kesampaian dua tahun lalu. Untuk sampai ke destinasi wisata ini pun cukup mudah dan dapat ditempuh dengan transportasi umum dan panduan aplikasi penunjuk rute. Kalau di Jakarta ada TransJakarta, di Yogyakarta ada TransJogja. Meskipun harus transit beberapa kali, akhirnya sampai juga. Lokasi candi tidak begitu jauh dari halte TransJogja Prambanan yang merupakan pemberhentian terakhir. Begitu keluar dari halte, wisatawan akan diserbu ojek dan becak yang menawarkan jasa mengantarkan para wisatawan ke Prambanan. Biasanya harga yang ditawarkan lumayan mahal, namun bisa ditawar. Kalau tarif dirasa tidak cocok, wisatawan masih bisa berjalan kaki menuju kompleks candi Prambanan. Perlahan akan diikuti pula dan diturunkan tarifnya.

Kunjungan ke Prambanan bisa dibarengi dengan Ratu Boko. Meskipun kedua objek wisata tersebut agak berjauhan, di loket disediakan paket wisata untuk mengunjungi keduanya dengan tarif yang cukup ekonomis. Kendaraan shuttle berupa minibus pun siap sedia mengantarkan wisatawan. Karena penasaran saya memilih untuk menunjukan Ratu Boko terlebih dahulu.

 
Perjalanan ke Ratu Boko cukup menegangkan karena curamnya jalan yang harus dilalui. Maklum saja, reruntuhan istana kuno ini berlokasi di atas bukit. Objek wisata belakangan mulai digandrungi kawula muda imbas film Ada Apa Dengan Cinta 2 yang salah satu adegannya berlatar di sana. Saat saya ke sana (hari kerja), tempat ini relatif sepi. Berbeda dengan Prambanan yang dihiasi bangunan candi yang megah, di Ratu Boko lebih banyak reruntuhan peninggalan arkeologi. Satu-satunya bangunan yang sempurna adalah bagian gerbang yang menjadi ikon lokasi tersebut. Konon, ini adalah salah satu tempat paling indah untuk menikmati senja di Yogyakarta.

Ratu Boko terbagi lagi menjadi beberapa bagian yang dapat dijelajahi satu per satu, namun belum semuanya direkonstruksi dengan sempurna. Seperti layaknya sebuah kompleks istana, setiap titik di objek wisata ini mewakili ruangan yang digunakan pada zamannya. Sayangnya, ruangan tersebut sudah tidak utuh lagi dan hampir rata dengan tanah. Nampak arkeolog dan pekerja lapangan tengah berusaha menggali dan merekonstruksi kemegahannya. Walaupun demikian, wisatawan masih bisa menikmati kemegahan istana ini di masa silam dari deskripsi dan panduan yang disediakan pengelola. Imajinasi wisatawan pun terbawa ke masa kerajaan Hindu-Budha bak film kolosal.

Puas dan lelah naik turun setiap titik di Ratu Boko. Saya pun kembali ke Prambanan, shuttle yang sama telah siap menjemput. Pagi menjelang siang, matahari sedang terik-teriknya tak menghalangi saya untuk menjelajahi destinasi berikutnya, Candi Prambanan. Betapa megah dan besarnya karya arsitektur masa silam ini. Saya pun menaiki setiap candi yang ada. Ternyata pendahulu kita telah mampu menciptakan bangunan yang tak lekang ditelan zaman. Bahkan masih mampu berdiri kokoh, meskipun sempat digoyang gempa.


Selain candi utama, ada beberapa candi lain yang lebih kecil di kompleks tersebut, antara lain Candi Lumbung, Candi Bubrah, dan Candi Sewu. Dengan berjalan kaki, semuanya bisa dijelajahi. Candi lain nampaknya belum selesai direkonstruksi. Hanya Candi Sewu yang cukup besar walaupun belum sempurna hasil rekonstruksinya. Candi ini bercorak Budha. Cukup unik, mengingat lokasinya tidak jauh dari Candi Prambanan yang bercorak Hindu. Keberadaan candi ini seakan mengajarkan kita bahwa toleransi antarumat beragama telah dilakukan nenek moyang kita sejak zaman dahulu.

Lalu apa saja pelajaran berharga yang didapatkan? Meskipun saya sudah terlalu tua untuk sebuah darmawisata, perjalanan ini telah memberikan banyak pelajaran. Agar tidak berkepanjangan saya akan memilih dua hal yang paling utama. Pertama, kemampuan berkarya bangsa kita di zaman dahulu sudah begitu luar biasa. Bangunan yang diciptakan tidak kalah megah dengan bangunan bangsa di belahan lain. Hal ini seharusnya membuat kita bangga sekaligus terpacu untuk menciptakan karya yang tidak kalah megah dari masa ke masa guna mengokohkan kejayaan bangsa kita. Jangan terlalu banyak membuang waktu untuk membenci dan men-bully hingga lupa untuk berkarya. Kedua, toleransi antarumat beragama sudah menjadi prinsip hidup berbangsa nenek moyang kita dari dahulu kala. Dua agama yang dominan pada saat itu dapat hidup berdampingan dan saling menghargai dengan penuh kedamaian. Terbukti dengan adanya candi-candi bercorak Budha di sekitar Candi Prambanan. Sudah sepantasnya memang kita belajar dari sejarah masa silam, ambil kebaikannya untuk semakin memperkuat bangsa kita tercinta, Indonesia.