Kopi pertama yang ku kenal adalah kopi tubruk. Seperti anak-anak pada umumnya, aku tidak menyukainya. Pahit dan berampas. Entah mengapa orang-orang tua sangat menggemarinya. Hampir tiada pagi tanpa kopi bagi ayahku dan ibuku dengan setia membuatkannya setiap hari. Aku lebih suka susu. Sempat pula mencicipi kopi susu, tetap saja rasanya tak senikmat susu. Rasa pahit dan aroma tajam dari kopi seakan mengurangi nikmatnya susu yang ku suka.

Memasuki masa sekolah, aku mulai mengenal kopi dalam bentuk lain. Mulai dari kopi instan siap minum hingga permen kopi. Kadangkala  kantuk tak tertahankan saat belajar di kelas, permen kopi jadi idola penghilang rasa kantuk. Entah fakta atau sekedar sugesti alias terpengaruh iklan di televisi.
Begitu pula saat jadi mahasiswa, rasa kantuk dan bosan masih sering menghinggapiku tatkala sedang kuliah di kelas. Apalagi jam tidur seringkali tidak lagi teratur karena harus belajar SKS (sistem kebut semalam) atau mengerjakan tugas hingga larut malam. Kopi instan dalam kemasan kotak jadi pilihan di keesokan harinya. Praktis, nikmat, dan mudah didapat di koperasi mahasiswa. Aku mulai terbiasa dengan kopi dan faedahnya untuk menghilangkan kantuk. Aku pun merasa sudah cukup dewasa untuk segelas kopi. 

Di penghujung masa kuliah, kopi perlahan mulai menjadi bagian dari gaya hidupku. Nongkrong di kedai kopi modern menjadi tren yang dianggap keren. Lebih dari itu, banyak hal yang dapat dilakukan dari sekedar menyeruput segelas kopi, antara lain bercengkrama dengan sahabat, berselancar di dunia maya atau mengerjakan tugas dan skripsi. Kedai kopi seakan menjadi rumah kedua. Tak hanya menyediakan kopi yang nikmat tanpa ampas, namun juga tempat yang cozy dan sambungan Internet nirkabel yang lancar jaya. Bersama teman ataupun sendirian, kedai kopi jadi tempat favorit untuk menghabiskan waktu luang.

Memasuki dunia kerja, kopi telah menjadi kebutuhan. Wajar jika kedai kopi asal Negeri Paman Sam itu selalu dipenuhi antrean pegawai kantoran setiap harinya. Saya sendiri punya pilihan lain yang lebih ekonomis. Saya lebih memilih kopi siap saji dari sebuah outlet minimarket (yang kini sudah tidak beroperasi di Indonesia) terdekat. Rasanya tidak kalah meskipun tidak senikmat kopi di kedai kopi elit itu. Setidaknya cukup untuk menghilangkan kantuk di pagi hari karena aku mengkonsumsi bukan karena tren atau gengsi semata. 

Belakangan ini saya sudah jarang mengkonsumsi kopi dalam gelas, seiring maraknya kopi dalam kemasan botol plastik. Harganya yang murah dan kemasannya yang mudah disimpan jadi alasan utama mengapa aku menyukainya. Meskipun demikian, aku masih suka pula menikmati kopi di kedai kopi mahal. Sesekali saja ketika menikmati akhir pekan atau momen berkumpul bersama teman-teman. 

Tulisan ini dibagikan kepada Meredian Alam, Kandidat Doktor Sosiologi-Antropologi, Universitas Newcastle untuk tugas riset penulisan bertema "Kopi, Kamu, & Aku."