Taman Nasional Baluran kesohor dengan julukan Afrika van Java. Konon padang rumputnya tidak kalah eksotik dari sabana di Afrika. Saking miripnya, saya pernah melihat salah satu postingan di Instagram yang memposting foto sabana di Afrika lengkap dengan kawanan antelop dan satwa liar lainnya, namun dituliskan sebagai Taman Nasional Baluran lengkap dengan penjelasan singkat. Padahal antelop kan tidak dapat ditemui di Baluran, mungkin si empunya akun salah comot gambar di Google tanpa riset terlebih dahulu.
Sudah lama saya memiliki keinginan untuk mengunjungi taman nasional ini, namun kesempatan ke sana baru ada akhir Maret silam. Bersama Endah dan Andy, kami bertualang bersama di Banyuwangi. Supaya praktis, kami memilih untuk menggunakan jasa open trip yang banyak bertebaran di Internet dengan destinasi Baluran, Pulau Menjangan, dan Kawah Ijen.
Petualangan kami diawali dengan hijaunya padang rumput Baluran. Berbeda dengan foto-foto yang selama ini saya lihat yang memperlihatkan kesan kering dan gersang, sabana Baluran yang kami saksikan telah menjelma bak zamrud khatulistiwa nan hijau raya. Saya pun baru sadar kalau kita datang bukan pada saat yang tepat. Padang rumput yang menghijau mengurangi kesan Afrika van Java nan gersang. Selain itu, meskipun ditutupi rumput, tanah yang basah perlahan mengotori sepatu kami dan itu baru kami sadari ketika kembali ke mobil.
Padang rumput nan luas terbentang hijau. Cuaca pagi itu agak berawan dengan disertai hujan rintik-rintik. Tak menghalangi kami untuk mengeksplorasinya. Akan tetapi, pemandu kami mengingatkan agar tidak terlalu jauh melangkah karena padang rumput ini merupakan habitat ular kobra. Mendengar hal itu, sempat muncul perasaan waswas. Kami pun jadi ekstra hati-hati, jangan sembarangan menginjak. Kalau yang terinjak ular, bisa berakibat fatal jadinya.
Setelah puas menikmati padang rumput Baluran nan kesohor itu. Kami kembali ke mobil dan bergerak menuju kamar mandi umum untuk membersihkan diri, maklum saja belum mandi. Di sana dapat dijumpai juga pondok-pondok yang disediakan bagi pengunjung yang ingin bermalam.
Setelah bersih-bersih dan ganti baju, kami berjalan ke menara pandang. Dari menara yang tidak begitu tinggi itu, kami bisa menyaksikan begitu luas dan hijaunya area taman nasional. Nampak pula Gunung Baluran menjadi latar belakang pemandangan itu. Rasanya ingin berlama-lama mengamati dan mengabadikan keindahan hakiki alam ini. Rasa penasaran juga ingin melihat kawanan satwa yang merumput di sabana. Tetapi tidak bisa karena harus ke tempat berikutnya.
Mobil yang kami tumpangi mengarah ke Pantai Bama. Pantai indah yang tersembunyi di dalam taman nasional ini jadi tujuan wajib untuk dikunjungi. Suasana sepi nan syahdu berlatar keindahan pesisir menyambut kedatangan kami. Kami menghirup angin pantai yang menyegarkan, lalu beranjak menaiki ayunan seperti kanak-kanak saja. Memang ini suasana yang jarang kami temui di pusat kota.
Namun sayang, kami tak bisa berlama-lama menikmati keelokan Pantai Bama. Hujan gerimis kembali turun, makin lama, makin deras sehingga memaksa kami untuk berteduh masuk kembali ke dalam mobil. Sayang sungguh sayang memang.
Meskipun belum puas menjelajahi belantara alam liar Baluran, kami terpaksa harus meninggalkannya karena hujan terus menerpa. Di perjalanan pulang kami sempat melihat kawanan rusa dan merak mengintip dari balik semak-semak seakan ingin bermain bersama kami. Namun cuaca tidak mendukung.
Pelajaran utama dalam perjalanan ini adalah mengunjungi Baluran di musim hujan bukanlah hal yang tepat. Padang rumput tak seeksotis sabana Afrika. Tanah yang berlumpur membuat alas kaki cepat kotor. Keindahan pantai pun tak dapat dinikmati secara maksimal. Itulah cerita perjalanan kami di Taman Nasional Baluran.
0 Comments