Bertualang ke Kawah Ijen di musim penghujan amat sangat tidak direkomendasikan. Mengapa? Karena pada musim tersebut, si api biru malu-malu menampakkan diri. Belum lagi tebalnya kabut turut mengurangi jarak pandang. Pendakian juga baru diperbolehkan menjelang subuh karena dikhawatirkan saat malam dan dini hari ada emisi gas beracun kawah yang masih aktif ini. Sementara di musim kemarau, pendaki bisa mulai mendaki sejak tengah malam. Lalu, rugikah mengunjungi Kawah Ijen saat musim hujan?
Pemandangan dari Puncak Ijen. |
Saya baru saja jalan-jalan ke Taman Wisata Alam Kawah Ijen di penghujung Maret lalu. Pelesir ke Banyuwangi memang tidak lengkap jika tidak berkunjung ke objek wisata yang sudah kesohor sampai ke mancanegara dengan api birunya. Meskipun sempat kecewa sebab tidak dapat menyaksikan sendiri rentetan blue fire yang langka dan memesona itu, saya tetap menikmati perjalanan saya kala itu. Karena bagi saya, mendaki gunung selalu memberikan makna dan kesan tersendiri.
Menjelang subuh saya bersama teman saya (Andy dan Endah) memulai pendakian secara perlahan menuju bibir kawah. Kadang curam, kadang landai begitulah jalur yang harus ditempuh. Lebarnya jalur pendakian membuat trek ini cukup ramah bagi pemula. Hanya saja banyaknya tanjakan yang harus dilalui cukup menguras nafas dan tenaga. Sangat direkomendasikan untuk menjaga kebugaran tubuh dengan rutin berolahraga kardio dan melatih otot kaki bagi yang ingin mendaki ke Kawah Ijen.
Pendakian ke Kawah Ijen adalah pengalaman pertama mendaki bagi dua orang teman saya dan kesekian kali bagi saya. Endah agak sedikit kewalahan dalam mengatur nafasnya sehingga ia kerap kali berhenti untuk beristirahat mengambil nafas panjang. "Ambekan" begitu katanya dalam bahasa Jawa, tetapi saya yang bukan Jawa tulen mendengarnya sebagai ambekan (yang berarti tukang ngambek). Setiap ada yang meminta waktu untuk istirahat, kami meneriakan "Ambekan! Ambekan!" untuk memberikan kode bahwa kami butuh istirahat satu, dua menit. Andy yang rutin berlatih di pusat kebugaran nampak cukup tangguh menaklukkan trek pendakian. Sementara saya, pendaki yang sudah lama tidak mendaki dan sangat jarang berolahraga kadang kesulitan juga mengatur nafas. Maka dari itu, latihan fisik dan kebugaran memang penting untuk melakukan pendakian.
Menjelang subuh saya bersama teman saya (Andy dan Endah) memulai pendakian secara perlahan menuju bibir kawah. Kadang curam, kadang landai begitulah jalur yang harus ditempuh. Lebarnya jalur pendakian membuat trek ini cukup ramah bagi pemula. Hanya saja banyaknya tanjakan yang harus dilalui cukup menguras nafas dan tenaga. Sangat direkomendasikan untuk menjaga kebugaran tubuh dengan rutin berolahraga kardio dan melatih otot kaki bagi yang ingin mendaki ke Kawah Ijen.
Pendakian ke Kawah Ijen adalah pengalaman pertama mendaki bagi dua orang teman saya dan kesekian kali bagi saya. Endah agak sedikit kewalahan dalam mengatur nafasnya sehingga ia kerap kali berhenti untuk beristirahat mengambil nafas panjang. "Ambekan" begitu katanya dalam bahasa Jawa, tetapi saya yang bukan Jawa tulen mendengarnya sebagai ambekan (yang berarti tukang ngambek). Setiap ada yang meminta waktu untuk istirahat, kami meneriakan "Ambekan! Ambekan!" untuk memberikan kode bahwa kami butuh istirahat satu, dua menit. Andy yang rutin berlatih di pusat kebugaran nampak cukup tangguh menaklukkan trek pendakian. Sementara saya, pendaki yang sudah lama tidak mendaki dan sangat jarang berolahraga kadang kesulitan juga mengatur nafas. Maka dari itu, latihan fisik dan kebugaran memang penting untuk melakukan pendakian.
Trek pendakian yang kami lalui semakin landai mendekati bibir kawah. Semangat tiba-tiba muncul, begitu kami mencium bau belerang yang menandakan lokasi kawah sudah semakin dekat. Kabut tebal dan hembusan asap belerang menyambut kedatangan kami. Di tengah kegelapan dan kebingungan kami mengikuti jejak langkah pelancong di depan kita yang menghantarkan kami ke titik pengamatan si api biru. Akan tetapi, para pengunjung sepertinya harus menelan kekecewaan, si api biru nyaris tak terlihat. Sepertinya blue fire memang malu-malu untuk menampakkan diri di musim ini. Kami bertiga hanya duduk sambil beristirahat karena percuma berdesakan di bibir kawah karena tak ada yang bisa dilihat selain kegelapan dan tebalnya kabut.
Di penghujung fajar, kami beranjak dan memilih melanjutkan pendakian ke Puncak Ijen. Seperti layaknya gunung berapi lainnya, Kawah Ijen hanyalah salah satu bagian dari Gunung Ijen. Jika masih ingin mendaki lebih tinggi bisa meneruskan perjalanan menuju puncak. Pendakian ke puncak cukup mudah, namun harus tetap berhati-hati, salah-salah bisa tergelincir ke dalam jurang kawah.
Di penghujung fajar, kami beranjak dan memilih melanjutkan pendakian ke Puncak Ijen. Seperti layaknya gunung berapi lainnya, Kawah Ijen hanyalah salah satu bagian dari Gunung Ijen. Jika masih ingin mendaki lebih tinggi bisa meneruskan perjalanan menuju puncak. Pendakian ke puncak cukup mudah, namun harus tetap berhati-hati, salah-salah bisa tergelincir ke dalam jurang kawah.
Mengabadikan momen bersama di Puncak Ijen. |
Pemandangan di puncak Gunung Ijen (2.443 mdpl) sangat menawan. Air berwarna biru kehijauan yang memenuhi cerukan kawah begitu memesona. Di sisi lain, terlihat Gunung Merapi (2.799 mdpl) yang merupakan gunung tertinggi di Kompleks Gunung Api Ijen. Sayangnya, kabut yang hilir mudik pagi itu turut membawa rintik-rintik butir hujan. Membuat saya ragu untuk mengeluarkan kamera. Maklum saja, menggunakan kamera dalam kondisi lembab tidak direkomendasikan, apalagi untuk kamera yang tidak memiliki environmental shield. Namun, tak ada pilihan lain, saya tetap mengabadikan momen di puncak dengan kamera.
Gunung tertinggi di kompleks Pegunungan Ijen, Gunung Merapi, turut menampakkan pesonanya. |
Seakan tak ada puasnya, kami mengambil gambar di atas puncak hingga lupa waktu. Bahkan di perjalanan pulang pun, kami masih ingin mengambil gambar berlatar keindahan alam Pegunungan Ijen. Sisi jurang yang sebelumnya kita lalui dalam keadaan gelap sudah membeberkan keindahan alam yang mengundang decak kagum. Hanya saja gerimis tipis masih juga turun membuat kami tidak dapat berfoto secara maksimal.
Walaupun api biru malu-malu menampakkan dirinya kala itu, perjalanan ke Kawah Ijen tetap memberikan kesan tersendiri. Keindahan alam khas kompleks gunung berapi dengan kawahnya yang berwarna biru kehijauan sangatlah memesona. Begitu pula pemandangan gunung-gunung lain yang ada di sekitar Gunung Ijen membuat keindahan alam menjadi semakin hakiki. Yang lebih berkesan lagi, semua itu dapat dinikmati hanya dengan 3 jam pendakian saja tanpa perlu mendirikan tenda pula. Kawah Ijen memang sangat direkomendasikan bagi para pendaki pemula atau pelancong yang ingin merasakan sensasi mendaki.
0 Comments