April lalu, saya menantang diri untuk mengikuti ajang lari half-marathon. Jarak 21 kilometer harus saya tempuh (dengan berlari) untuk menamatkannya. Tentu bukan hal mudah, apalagi untuk ukuran pelari musiman seperti saya. Maklum, saya bukanlah penggila lari yang rutin latihan tiap malam atau sekedar jogging di akhir pekan. Akan tetapi, terbersit obsesi pribadi untuk menjalani tantangan ini untuk mengukur kemampuan diri seberapa jauh saya bisa berlari. Tekad yang kuat memantapkan saya untuk mengikuti Pocari Sweat Run 2016 di Jakarta untuk kategori half-marathon.
 
Sejak beberapa bulan lalu saya menekuni hobi baru, yaitu mendaki gunung atau hiking bahasa kerennya. Jarak yang ditempuh pun bukan main-main dan sudah barang tentu lebih jauh dari lari terjauh yang pernah saya tempuh sekalipun. Belum lagi jalur yang menanjak membuat tenaga cepat terkuras habis. Dari pengalaman itu, saya merasa sudah siap untuk mengikuti half-marathon. Jika terjal dan panjangnya jalur pendakian gunung bisa ditaklukan hingga mencapai titik 3,142 meter di atas permukaan laut, tentu jarak 21 kilometer bukanlah hal yang tidak mungkin untuk  ditempuh dengan berlari.

Tidak ada program latihan khusus yang saya siapkan. Saya baru mulai berlari satu bulan sebelum hari-H. Itu pun hanya sekedar jogging santai atau mengikuti kegiatan fun run setiap akhir pekan. Rasa malas pun kerap menghinggapi, sulit rasanya untuk bangun tidur lebih pagi untuk berlari pagi. Itu terjadi saat long weekend awal Mei lalu. Padahal niatnya ingin perlahan-lahan meningkatkan jarak tempuh agar tidak kaget saat menapaki rute 21 kilometer. Sebagai gantinya, saya melatih kekuatan otot kaki dengan beberapa latihan sederhana yang bisa dilakukan di rumah. Squat adalah latihan favorit saya. Latihan sederhana dengan gerakan berdiri lalu setengah jongkok lalu berdiri lagi benar-benar menguji kekuatan paha dan betis. Siapa sangka gerakan simpel seperti itu bisa sangat menyiksa. Namun, akhirnya terbiasa pula, walhasil otot-otot bagian bawah pun semakin kuat.

Satu minggu sebelum race, saya hanya bisa pasrah saja. Apalagi begitu melihat rutenya yang di luar dugaan. Start di Pancoran, lalu ke Mega Kuningan, Karet, juga melintasi kantor saya (OCBC NISP Tower), Rasuna, Menteng, lalu balik ke Pancoran. Saya pun mulai meragu tapi mundur tentu bukan pilihan. Mau tidak mau saya harus menjalaninya, jika tidak, saya tidak akan tahu kemampuan saya yang sebenarnya. Kembali ke tujuan awal, bahwa ini semua saya lakukan untuk menguji sejauh mana saya bisa berlari dan menyelesaikan perlombaan ini. Kalau pun nanti ternyata saya belum mampu menyelesaikannya, tentu bukan hal yang harus disesali. Pengalaman selalu akan menjadi pelajaran yang berharga. Pelajaran untuk dapat mempersiapkan diri lebih baik lagi, mendisiplinkan diri untuk terus berlatih dan meningkatkan kebugaran dengan rutin berolahraga. Walaupun kepercayaan diri sempat meredup, kembali saya tanamkan tekad nan kuat. Saya harus yakin akan kesanggupanku menyelesaikan half-marathon pertamaku ini karena keyakinanlah yang akan menjadi kekuatan terbesar.

Hari perlombaan pun tiba. Deg-degan rasanya. Mantap saya langkahkan kaki memasuki garis start, saya mulai pemanasan khususnya di bagian kaki. Saya tidak terlalu berambisi untuk menjadi yang tercepat, pace 8 sudah cukup. Targetnya pun sederhana, bisa menyelesaikan race ini sebelum cut-off time (3 jam 30 menit). Saya memperkirakan setidaknya bisa menyelesaikan lomba dalam waktu 3 jam. Jadi santai saja, begitu race resmi dibuka saya berusaha mengontrol adrenalin agar tetap kalem. Berlari santai, jangan sampai terlalu all out di kilometer-kilometer pertama, lalu kehabisan tenaga di tengah-tengah. Ini adalah lelarian terpanjang yang pernah saya lakukan, jadi harus pintar-pintar mengatur tenaga dan hidrasi agar tetap bertahan hingga kilometer ke-21.

Berlari di jalanan umum yang tidak sepenuhnya ditutup macam car free day, harus siap-siap berhadapan dengan pengendara yang tidak sabaran dan sesaknya menghirup asap knalpot. Walaupun hari masih gelap, pengendara memang tampak sudah menyemut di Jalan Gatot Subroto. Beberapa pengendara kendaraan bermotor yang tidak sabar mulai bersungut-sungut dan menerobos jalanan yang ditutup. Untungnya mereka hanya menggunakan jalur busway, pelari yang ada di jalur itu pun harus mau mengalah kalau tidak mau ditabrak. Saya berusaha tenang walau tensi sudah mulai memanas antara runner vs driver yang sekilas mengingatkan akan race Bajak Jakarta 2014, di mana salah satu tagline-nya You vs Macet. What an extraordinary experience, berlari di tengah kemacetan dan di antara bajaj-bajaj yang sempat bikin para clubber kebakaran jenggot karena terhambat jalannya ke acara DWP. Mungkin karena banyaknya kekesalan karena kemacetan acara tersebut di tahun berikutnya diadakan tengah malam dan saya pun absen, tidak turut serta di Bajak Jakarta 2015.

Oke, kembali ke race Pocari Sweat Run 2016. Saya terus tanpa harus takut dehidrasi karena ada water station di setiap 1,5 km dengan suplai air mineral dan isotonik yang melimpah. Sepertinya baru event ini yang menyediakan water station yang begitu banyak. Maklum lah sponsor utamanya kan minuman isotonik. Senang rasanya berlari tanpa takut kehilangan cairan tubuh. Eh, tapi ada efek sampingnya, mendadak banyak pelari beser. Sebagian dari mereka tidak malu menumpang pipis di gedung atau minimarket yang di lewati. Panitia juga menyediakan toilet portable tapi karena jumlahnya terbatas, hanya ada beberapa di sepanjang rute, jadi harus mengantri dan tentu bisa memperburuk catatan waktu mereka kalau harus menunggu lama. Saya sendiri tidak sampai kebelet. Di setiap water station, saya hanya minum secukupnya untuk kemudian cairan dikeluarkan lewat keringat. Lagipula kebanyakan minum tidak baik juga, malah akan menganggu performa lari. Kalau kata orang Sunda, perut jadi "koclak" bak buah kelapa yang diguncang-guncangkan, rasanya tentu tidak enak.

Sekitar kilometer 7 saya mengalami sedikit cidera, mungkin karena sudah lama tidak non-stop berlari sejauh itu atau kurangnya pemanasan. Pergelangan kaki kiri terasa nyeri. Untung ada tenaga medis yang siaga dengan spray otot sehingga aku bisa meneruskan lari. Walaupun tak lama kambuh lagi. Beberapa kali aku meminta spray atau krim ke relawan medis berikutnya. Ternyata banyak juga yang mengalami keluhan otot, sampai-sampai ada relawan yang kehabisan. Mungkin di race berikutnya obat ini harus ditingkatkan  karena sangat umum dialami para pelari jarak jauh. Apalagi bagi yang jarang latihan atau kurang pemanasan.

Kuningan, Menteng, lalu berlari balik ke kuningan menyusuri Jalan HR Rasuna Said. Kaki sudah mulai tertatih di kilometer ke 14. Tidak mau memaksakan saya memilih berlari diselingi berjalan kaki, walaupun tidak jarang jalannya yang lebih sering. Tak apa, daripada cidera kakinya jadi lebih parah. Adrenalin terpacu begitu sudah mendekati 1 kilometer terakhir. Ingin rasanya sprint, tapi saya lagi-lagi tak mau memaksakan. Takut kaki kenapa kenapa. Dengan catatan waktu masih di bawah 3 jam, saya sudah yakin bisa menyelesaikan perlombaan ini sesuai target. Animo relawan menyemangati para pelari semakin membuncah, menumbuhkan semangat untuk kembali memacu langkah. Tengsin 'kan kalau sudah disemangati tapi masih berjalan lunglai. Saya pun berusaha berlari penuh semangat, sorakan para relawan memberikan energi bagi para runner yang tak lama lagi meraih gelar finisher. Saya tak mau kalah, turut diwarnai rasa haru, saya pun berhasil menapaki garis finis dengan catatan waktu. Pencapaian luar biasa bagi saya pribadi. This is my farthest run! I'm officially a half-marathoner! Aplikasi Nike+ Running pun turut merayakan keberhasilanku dengan menganugerahkan 5 bagde penghargaan, yeay!

Sebagai finisher, saya mendapatkan medali dan juga kaos Adidas eksklusif yang diperuntukkan khusus untuk penamat half-marathon. Rasa sakit di kaki yang sebelumnya sangat mengganggu seakan sirna tergantikan kepuasan diri bisa berhasil menamatkan race. Seperti banyak yang bilang, "Pain is temporary, pride is forever!" dan saya pun kini merasakannya.