"Sul... Senang bisa bertemu denganmu lagi... Sudah bertahun-tahun rasanya. Sekarang kau sudah hidup bahagia dengan keluarga kecilmu... Hahaha..." ungkapku sambil tersenyum lalu tertawa, hal yang biasa ku lakukan untuk menutupi rasa canggung. Tampak sepasang suami istri berdiri di hadapanku. Berpakaian khas muslim di Indonesia. Yang lelaki berkemeja koko merah marun, yang wanita lebih konservatif dengan kerudung hitam menutupi bagian atas tubuhnya. Dua wajah yang tak asing bagiku, Sulli dan imamnya yang tak lain adalah suaminya. Kami terlibat percakapan yang seru, namun apa yang dikatakan Sulli selanjutnya tak terdengar jelas. Sekilas semuanya seperti "haha hihi" tak jelas. Ku lihat suaminya juga ikut tertawa bersama kami. Aku bingung. Pikiranku berputar-putar. Apa gerangan yang terjadi...?
"Silau!" ujarku dalam nalar, bayangan tadi pun buyar. Mataku terbuka. "Ah.. Ternyata cuma mimpi!" ujarku lagi. "Tetapi mengapa terasa begitu nyata?" tanyaku tanpa suara. Hatiku gundah dibuatnya. Pertanyaan-pertanyaan konyol seketika mengacaukan pikiranku pagi itu. Apakah aku masih menaruh hati padanya? Wanita bersahaja dan berhati mulia itu sempat menarik perhatianku lima tahun lalu. Dulu hampir setiap hari aku berjumpa dengannya. Sekarang sekali dalam setahun pun tidak. Perlahan aku mulai menghapus segala rasa untuknya. Tapi mengapa dia kembali hadir di mimpiku?
Mungkinkah ini ekspresi kegembiraan hatiku di alam bawah sadar karena akhirnya aku akan bertemu lagi dengannya dalam sebuah reuni kecil bersama teman-teman yang pernah menjadi rekan kerja. Tentu saja Sulli tetap menjadi teristimewa di antara yang lain. Lebih dari dua tahun kita tak berjumpa. Tentu segalanya telah berubah, namun satu hal yang tidak berubah, rasa ingin berjumpa dengannya. Belakangan memang sulit untuk menjalin silaturahmi dengannya. Belum lama seorang teman yang tak sengaja menjumpainya mengatakan bahwa Sulli telah berganti nomor ponsel. Pantas saja, pernah aku coba menghubunginya tetapi tak mendapat respon apa-apa. Ku sangka dia telah berubah dan tak lagi sudi bertukar kabar denganku. Semoga hanya nomornya saja yang berubah, sikapnya tidak. Ku harap dia tidak berusaha menghindari aku dan teman-teman sekantor yang pernah menjadi bagian dalam masa lalunya.
Girang bukan kepalang, saat aku tahu Sulli bersedia datang ke reuni kecil yang telah menjadi wacana sejak bulan lalu itu. Ajang yang sekaligus menjadi perekat silaturahmi kita setelah sekian lama tidak berjumpa. "Alhamdulillah..." ucap benakku tatkala mendapatkan kabar kalau Sulli juga akan datang. Aku tidak dapat memungkiri perasaan yang pernah ada untuknya. Rasa itu seakan menggumpal kembali setelah sempat larut dalam kenangan masa lalu. Aku tak siap untuk itu. Kebahagiaan seakan membuncah tak terkira. Ingin rasanya ku berteriak, bersorak seolah tiada rasa malu "Akhirnya aku bisa berjumpa dengannya! Akhirnya! Akhirnya! Akhirnya, Sul, Sul, Sulli..." Gema itu telah terdengar kembali.
"Kesengsem..." begitu orang Jawa bilang. Aku kesengnsem sama Sulli? Mungkin itu pula yang akan disangkakan temanku jikalau aku menceritakan perihal mimpi itu. Mimpi manis, walaupun cuma sekelebat saja, mimpi itu sangat berkesan untukku. Maklum sudah lama aku tak berjumpa dengannya. Namun, terbersit sedikit rasa bersalah dalam benakku, "Pantaskah aku memimpikannya?" karena dia sudah menjadi milik lelaki lain. Tentu saja tidak, mimpiku masih wajar, hanya sebatas silaturahmi di alam bawah sadar yang belum bisa dilakukan di dunia nyata. Bercengkrama dengannya beserta suaminya bukanlah sebuah dosa. Bukankah kita diajarkan untuk menjaga tali silaturahmi? Lalu, hatiku pun balik bertanya "Apakah aku tidak akan pernah bisa lepas dari kenangan bersamanya?" Meskipun bukan kisah cinta, tetap saja kebersamaanku dengannya telah menggoreskan kenangan indah dalam hidupku. Aku pun hanya membisu pagi itu.
Reuni kecil kami akan dilangsungkan malam ini. Aku tak bisa menutupi kegiranganku. Aku bahagia bisa bersua. Itu saja, tak ada harapan lain. Mungkinkah harus ku curahkan segalanya? Agar hidupku bisa terlepas dari angan tentangnya. Mungkin ya, tetapi apa yang akan dikata. Aku tak bisa merangkainya, aku tak pandai untuk itu. Aku hanya ingin bersenang-senang malam itu, berbagi canda tawa sembari mengenang kekonyolan hidup kita di masa silam. Bergembira dan sedikit nostalgia. Aku ingin kembali memandang senyum terukir di wajahnya... dan teman yang lainnya.
Sinar sang surya siang itu begitu menyilaukan. Terik, tetapi tak terasa panas. Ku tumpangi sebuah biduk. Ada dayung dan juga layar. Apa arti semua ini? Cukup nekadkah aku untuk pergi berlayar seorang diri? Nampak dua sosok melambaikan tangan kepadaku, sebuah tanda perpisahan. Aku mengenali mereka. Tak salah lagi itu Sulli dan suaminya. Aku yakin ini hanya mimpi. Mengapa mereka hadir lagi di mimpiku? Aku menjauh dan menjauh. Keduanya perlahan hilang dari pandanganku. Menjadi sebuah titik yang semakin mengecil. Silaunya mentari membuatku tidak nyaman, hingga aku pum tersentak. "Aaa...!" Mimpi yang aneh yang lagi-lagi ku alami.
Jam menunjukkan pukul 18.00 petang, sudah waktunya aku pulang hari itu. Aku bergegas melangkah ke surau, ingin aku bersembahyang masjid dahulu sebelum datang ke reuni itu. Untuk menenangkan jiwa dan hatiku, sebelum berjumpa lagi dengan dia seorang. Bukan berarti yang lain tidak penting, namun ada sesuatu yang spesial dalam diri Sulli yang membuatku tak sabar untuk bersua. "Sul... Sulli... Sul... Aku akan datang."
Lengang, tempat perjumpaan kami. Tak banyak orang, yang datang pun belum banyak. Aku berusaha tersenyum melihat mereka yang sudah hadir menyambutku dengan riang. Tak ku dapati sosok yang ku paling ingin ku temui. "Sulli... Sul, di mana kamu, Sul?" Pertanyaan itu membuncah dalam benak. Tak kuasa aku menanyakan kepada teman yang telah hadir di sana. "Sulli baru jalan dari kantornya." Jawaban yang membuatku menunggu. Namun setidaknya ia tak membatalkan kehadirannya. "Aku akan menanti," tekadku dalam hati.
"Sul..." ujarku spontan ketika aku lihat sosok wanita berkerudung hitam dan wajah yang baru-baru ini ku tatap dalam mimpi itu masuk mendekat. Sosok yang tak asing. Dialah Sulli. Dia datang beserta tiga orang lainnya. Ku lihat tinggal tersisa tiga kursi. Kurang satu. Aku berinisiatif untuk mengambilnyakan kursi tak terpakai dari meja lain. Sebuah penyambutan sederhana. Langsung ku letakkan kursi itu tepat di sampingku. Tempat teristimewa begitu teman lain menggoda Sulli. Padahal aku tak bermaksud lain, namun yang lain terus menggoda Sulli untuk duduk di kursi spesial itu.
"Sul... Sudah lama aku ingin menjumpaimu, namun kesempatan itu baru datang sekarang. Sungguh aku sangat bahagia tak terkira. Apakah kau merasakan yang sama denganku?" Aku tersipu. Aku salah tingkah, entah kata-kata apa yang telah terucap dari mulutku. Namun, ternyata semua itu hanyalah untaian kata dalam hati. Dalam realitanya, aku hanya tersenyum mendapati wanita itu ada di sisiku. Membisu sejenak, terpana, terpesona, aku terdiam. Ingin rasanya aku ungkapan isi hatiku. Ingin aku melepaskan segalanya. Jangan lagi ada yang tertahankan. Biar semuanya bebas, hati jangan lagi terpenjara kenangan masa silam. Aku pun memberanikan diri buka suara.
"Sul, sekarang kau kerja di bagian apa?" tanyaku seperti ingin tahu. Ia pun menjawabnya penuh keanggunan dan sedikit diplomatis layaknya seorang pegawai lembaga negara yang harus menjadi panutan yang baik bagi warga negara lainnya. Jujur aku tidak begitu memperhatikan jawabannya, perhatianku lebih tertuju pada ayu parasnya dan lembut suaranya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum merona ketertarikan. Aku bahagia, serasa dahaga rindu yang dulu ada telah sirna seketika. Suaranya, kesantunannya, segalanya tentang dia masih tetap sama. Sulli, dia masih gadis yang dahulu ku panggil. "Sulli... Sul... Sul..." gema itu mulai terdengar lagi, menggetarkan hati nan lara, menghapuskan derita nestapa. "Sulli" nama yang membawa kedamaian hatiku.
Tak lama, Sulli pun balik bertanya. Ia menanyakan tempat tinggal, kantor, dan perkerjaanku saat ini seperti petugas sensus saja. Memang itu hal yang lumrah bagi dua orang kawan yang lama tidak bersua. Sedikit canggung memang. Aku tidak ingin sikapku dinilai kurang ajar. Bagaimana pun Sulli kini berstatus istri orang, aku tak berani macam-macam. Keakraban obrolan kami semakin menjadi. Sulli terus melontarkan pertanyaan yang tak terduga padaku. Soal jodoh, ya jodoh. Aku hanya terdiam. Layaknya main catur aku sudah dibuatnya skakmat akibat kecanggungan yang semakin parah kala harus menanggapi pertanyaan itu. Aku kumpulkan tekad nan kuat. Aku harus beranin menyatakannya.
"Bagiku hidup adalah perjalanan. Meskipun ada ujungnya, namun kita tak tahu pasti kapan langkah kita akan terhenti. Bak berlayar mengarungi ombak samudera nan ganas, bak berjalan menyusuri pesisir pantai. Hidup seorang bujang hakikatnya menjelajah hingga pada saatnya menemukan pantai yang tak berpenghuni untuk ditempati. Tempat hati berlabuh, tempat kasih dipadu. Saat ini aku masih berjalan dan tak tahu sampai kapan," ungkapku. Sulli nampak tersipu mendengarnya.
"Sejujurnya aku ingin berterima kasih padamu Sul," lanjutku.
"Terima kasih untuk apa?" Sulli bertanya.
"Karena engkau 'lah sebuah inspirasi bagiku. Dulu di masa lajangmu, kau sering sekali berkelana menikmati keindahan di berbagai pelosok nusantara. Bertolak dari itu, kini aku pun demikian, masa lajang ku manfaatkan untuk bertualang. Menikmati kebebasan seraya mengeksplorasi segala kekayaan yang ada," jawabku. "Sul, kau memang bukan pantai tempatku berlabuh, namun kaulah tempatku mulai bersauh. Walau ku tak tahu pasti harus seberapa jauh ku tempuh hingga akhirnya bisa berlabuh. Ku terus berlayar menjauh, menjauh, dan terus menjauh."
Aku menghilang ditelan cakrawala. Sulli nampak bahagia, bahtera rumah tangga nya telah bersandar di pulau kebahagiaan. Sementara aku terus mengarungi lautan kesendirian.
0 Comments