Seringkali sebuah perjalanan tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Begitu pula perjalanan saya waktu itu dalam sebuah open trip ke salah satu destinasi wisata yang ada di Tasikmalaya, yaitu Gunung Galunggung. Trip yang bertajuk Sunrise Galunggung seharusnya malu dengan namanya karena pada akhirnya kita tidak mendapati apa yang dijanjikan, sebuah pemandangan indah matahari terbit di pegunungan. Hal ini dikarenakan oleh ketidaktepatan waktu penjemputan dan yang paling parah adalah kesalahan memilih jalan hingga bus yang kami tumpangi terjebak di sebuah perkampungan. Jalur yang dipilih ternyata tidak bisa dilewati bus karena ada portal menghadang. Bus yang berukuran cukup bongsor itu terperangkap di sebuah tanah kosong yang ternyata teksturnya lembut dan licin dengan rerumputan ketika akan berputar balik. Sang supir dan pemandu pun seperti kurang akur dan tidak bersinergi. Sayang sekali memang, seluruh peserta trip pun terpaksa menghabiskan waktu subuh dan sunrise di salah satu rumah penduduk yang berbaik hati menyediakan tempat untuk duduk dan bergelas-gelas teh panas.

Singkat cerita, akhirnya dengan bantuan warga, bus pun dapat berbalik arah dan lepas dari perangkap tanah tadi. Warga yang berbaik hati membantu menunjukkan jalan yang benar agar bus tidak lagi salah mengambil jalan.

Sampai di satu persimpangan, sebuah mobil pick up menghampiri. Ternyata mobil ini yang akan membawa rombongan ke kaki Kawah Galunggung. Semuanya excited. Dengan menumpang di bak terbuka tentu kita bisa bebas melihat pemandangan seraya menikmati segarnya udara pegunungan, bukan?

Setibanya di kaki kawah, kami harus bersiap menaiki anak tangga yang jumlahnya sekitar 500-600. Pelan tapi pasti kami menapakinya. Sebuah kejutan, monyet-monyet yang hidup di sini tampak menyambut kita dengan tatapan penuh harap kalau-kalau ada makanan yang dapat mereka dapatkan dari kita. Jika lelah, kita bisa berhenti kapan saja karena anak tangga ini cukup lebar dan saat itu sepertinya hanya ada rombongan kami saja yang datang "sepagi" itu. Ada beberapa pos peristirahatan untuk menyingkir sejenak dari anak tangga. Banyak aksi vandalisme terpatri di situ.


Saat menoleh ke belakang, saya lihat sang mentari sudah meninggi. Pemandangan alam Galunggung pun tersibak begitu cantik, walaupun tidak sedramatis momen sunrise yang telah kami lewatkan. Saya hanya ingin menikmati perjalanan mendaki anak tangga ini sehingga tak terburu-buru untuk sampai ke atas ngarai.

Sesampainya di atas Kawah Galunggung atau Ngarai Galunggung, saya terpana melihat keindahan alamnya yang sangatlah hijau, sedikit mengingatkan pada gunung tinggi yang pernah saya daki, seperti Gunung Merbabu. Sebuah spot untuk menyaksikan sunrise kembali mengingatkan saya pada kegagalan mengejar sunrise di Gunung Galunggung yang membuat kecewa. 

Karena perut sudah lapar, saya langsu ingin mampir di salah satu warung yang ada di situ. Saya memesan semangkuk mie rebus dengan tambahan lontong untuk mengganjal perut. Harganya pun terbilang murah karena tidak sampai 10 ribu. Setelah perut terisi lagi, saya kembali berjalan sambil sesekali mengambil foto di monumen-monumen yang ada di sini.

Kawah Galunggung yang ada sekarang merupakan yang tersisa dari letusan dahsyat Gunung Galunggung tahun 1982-1983 silam. Kawah yang sangat luas dan lebar. Sepertinya pengunjung dapat turun ke bawah jikalau merasa penasaran. Namun, karena keterbatasan waktu saya beserta teman-teman lainnya hanya berjalan ke tugu peringatan letusan sambil sesekali melewati para campers yang mendirikan tenda di atas ngarai ini. Tak berlama-lama, saya melanjutkan perjalanan dengan menuruni 600-an anak tangga untuk kemudian menuju Cipanas Galunggung, sebuah pemandian air panas alami yang bersumber dari aktivitas vulkanik Gunung Galunggung. Ternyata lokasinya cukup jauh jika harus ditempuh dengan berjalan kaki. Ojek-ojek pun bersiap mengantar kita.