Pada suatu masa, tersebutlah sebuah desa yang sedang dilanda kekeringan. Sudah berbulan-bulan hujan tak kunjung turun di desa itu. Kemarau berkepanjangan ini perlahan mulai menyengsarakan warga desa. Persediaan air mereka mulai menipis. Lahan pertanian sudah kering kerontang, tak bisa ditanami apapun karena tanah terlalu keras. Sawah pun berubah menjadi hamparan retakan lumpur kering yang mustahil untuk ditanami. Situasi ini benar-benar membuat gelisah karena persediaan pangan warga semakin menipis. Jikalau malapetaka kekeringan ini terus berlanjut apa gerangan yang akan mereka makan?

Ki Atak adalah seorang tetua di desa itu. Sebagai orang yang disegani dan mengayomi warga, keadaan memprihatinkan ini tentu turut menjadi beban pikirannya. Setiap malam ia bersemedi, memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa, meminta pertolongan untuk dapat menyelamatkan desa dari malapetaka ini. Tempat pertapaan Ki Atak pun kerap berpindah-pindah. Di bawah pohon keramat, di tengah sawah, di area pekuburan, hingga tanah yang lapang. Godaan makhluk halus yang kerap hadir tak menggoyahkan pertapaannya sedikit pun.

Kesungguhan Ki Atak dalam bertapa akhirnya mendapatkan jawaban dari Yang Maha Kuasa saat ia bertapa di tengah tanah lapang yang luas. Lelaki tua itu mendapatkan wangsit untuk dapat mengakhiri bencana kekeringan ini. Dalam pertapaannya, ia melihat sebuah telaga yang sangat jernih yang dari uap dan aromanya saja sudah bisa menghilangkan dahaga. Tak lama terdengar suara gaib berbicara padanya “Ki Atak, sungguh kuat tekadmu untuk menolong warga yang sedang kesusahan. Kau dapat segera mengakhiri kekeringan ini, dengan cara menciduk air dari sebuah telaga di Pegunungan Maloko. Kau harus membawa air itu dengan sauk (semacam gayung) yang kau buat sendiri dari batok kelapa yang ada di makam keramat. Setelah itu, bawalah air itu dan tumpahkan di tanah lapang ini.”

Dalam sekejap suara gaib itu menghilang, Ki Atak pun terhenyak. Ia bersyukur karena akhirnya ia bisa menyelamatkan warga dengan petunjuk yang ia peroleh dari pertapaan ini. Tanpa pikir panjang, sebelum fajar menyingsing ia segera beranjak ke makam keramat yang dimaksud, di sana terdapat satu pohon kelapa yang ia tuju. Dengan kesaktiannya, ia mampu memetik kelapa itu tanpa perlu memanjat pohon itu. “Sreek.. Deg!” buah kelapa itupun terjatuh.

Dengan sigap Ki Atak, menangkap buah yang jatuh itu dengan kedua tangan. Namun, alangkah kagetnya ia, begitu menyadari yang ditangkapnya bukanlah buah kelapa tua, melainkan kepala setan tua yang sangat mengerikan. Kepalanya lonjong bak kelapa tua dengan kulit kisut dan kasar. Matanya melotot dan mulut bertaring siap menerkam Ki Atak. Akan tetapi, dengan penuh kesadaran, Ki Atak melempar kembali kepala itu ke atas hingga mengenai kelapa tua yang ia inginkan. Kelapa yang ia inginkan akhirnya berhasil ia dapatkan. Sementara kepala setan itu ia tendang jauh-jauh dengan segenap kesaktian yang ia miliki.

Tidak ingin berlama-lama. Ki Atak bergegas mengupas sabut kelapa itu. Dibersihkannya batok kelapa yang ada di dalamnya. Ia pun memakan daging kelapa yang ada di dalamnya dan airnya ia minum agar dapat menjadi sumber kekuatan baginya untuk menempuh perjalanan ke Pegunungan Maloko. 

Batok kelapa yang sudah bersih dan dibuat sedemikian rupa menjadi sauk untuk menciduk air. Tak lupa ia satukan batok tersebut dengan sebatang gagang yang terbuat dari bambu kuning. Ki Atak sengaja menggunakan bambu kuning agar terhindar dari makhluk halus karena benda itu bisa menjadi penangkal. Ia berharap dapat segera membawa air dari sana kembali ke desa dan ditumpahkan di tanah lapang yang menjadi titik pertapaannya.

Sebenarnya Ki Atak tahu benar bahwa Gunung Maloko bukanlah tempat untuk manusia biasa. Banyak bangsa siluman dan dedemit yang mendiami area itu. Hampir semua titik di sana didiami makhluk tak kasat mata. Lengah sedikit saja, manusia yang datang bisa menjadi incaran untuk diperbudak mereka. Tentu Ki Atak tidak ingin nasibnya berakhir naas seperti itu, apalagi banyak warga yang sangat menggantungkan harapan hidup mereka padanya. 

***

Setelah menempuh perjalanan panjang nan melelahkan, Ki Atak tiba di kaki Gunung Maloko. Ia tiba di sore hari menjelang senja. Sebelum ia berjalan memasuki kawasan itu, ia memejamkan matanya sejenak, berusaha mengetahui keberadaan sumber air itu. Petunjuk dalam batinnya mengarahkannya ke arah selatan untuk menemukan sebuah mata air yang ia lihat dalam bisikan gaib. Tanpa membuang waktu, Ki Atak bergegas menuju ke sana. 
Perjalanan tidak mudah karena hutan yang masih tertutup semak belukar sangatlah menyulitkan perjalanan Ki Atak. Namun, dengan tekad yang kuat ia berhasil menembusnya. Aroma segar mata air telah tercium dan suara gemericik air sudah terdengar dari kejauhan. Ki Atak ingin segera mengambil air dari situ untuk kemudian menyelamatkan desanya dari kekeringan.

Tiba di tepi mata air, Ki Atak langsung mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa karena berkat pertolongan dan petunjuk dari-Nya ia dapat menemukan mata air itu. Ia pun segera membasuh wajahnya dan minum dari air tersebut. Sangat menyegarkan, tak pernah ia merasakan air yang sangat segar seperti di telaga ini. Namun, tak lama kemudian mata air itu mulai bergejolak seperti air mendidih. Muncul sosok gaib berwujud dua kepala wanita yang menyatu dalam satu tubuh ular. Sungguh mengerikan! Makhluk jadi-jadian itu telah membuat Ki Atak tersentak. Bulu kuduknya pun berdiri karena energi mistis yang dipancarkan makhluk itu.

“Siapa kau?” ucap makhluk itu lantang dengan suara yang menakutkan. “Berani-beraninya kau mengusikku dan seenaknya mengambil air dari mata airku.”

“Saya Ki Atak dari desa seberang hendak mengambil air dari mata air ini untuk menyelamatkan warga desa dari kekeringan,” Ki Atak berusaha menjawab dengan tegas namun tetap berendah hati. "Izinkanlah saya untuk mengambil satu cidukan air dari telaga ini."

Bukannya tersentuh mendengar niat mulia Ki Atak, siluman itu malah semakin panas. 

“Hei, kau pikir siapa dirimu? Aku, Nyi Putri Dua, penjaga mata air ini, tak akan begitu saja membiarkan kau mengambil air dari sini walau hanya setetes pun. Hadapi aku jika kau memang punya nyali dan ingin berbuat nekad.”

Tanpa komando, makhluk gaib bernama Nyi Putri Dua itu menyerang Ki Atak. Ki Atak tidak gentar sedikitpun. Namun, ia cukup kaget dengan serangan mendadak siluman itu. Dalam sekejap ia pun sudah berada dalam lilitan tubuh ular Nyi Putri Dua. Seketika itu pula ia tidak bisa berbuat banyak selain pasrah dan memohon kekuatan dari Yang Maha Kuasa. Ki Atak mulai memejamkan matanya sambil melafalkan mantra sementara tubuhnya masih berada dalam lilitan tubuh wanita ular berkepala dua itu. Perlahan-lahan ia mengumpulkan tenaga untuk bisa lepas dari belitan. Tak lama kemudian, dalam sekali sentakan ia pun bisa melepaskan diri dari makhluk itu. Lalu, ia teringat dengan Bambu kuning yang ia gunakan sebagai gagang cidukan air yang dibawanya. Ia yakin dengan menghajar makhluk itu dengan bambu kuning, dia akan dapat mengalahkannya.

Pertarungan antara Ki Atak dan Nyi Putri Dua semakin seru dan membara. Keduanya memiliki kesaktian yang bisa dibilang seimbang. Melihat keadaan itu, Nyi Putri Dua menggunakan siasat busuknya dengan menghipnotis Ki Atak dengan ajian sirepnya. Tanpa disangka mantra-mantra mistis itu berhasil! Ki Atak tampak tak berdaya dan telah tunduk pada pesona semu Nyi Putri Dua. Ia pun mulai mendekat ke cengkeraman makhluk jadi-jadian itu. Selangkah demi selangkah, Ki Atak semakin mendekat ke dekapan makhluk gaib yang berupaya menghabisinya itu. Jarak mereka pun semakin dekat, entah mengapa Ki Atak bisa begitu saja terpedaya dengan tatapan mata penuh pemikat Nyi Putri Dua. Tak lama lagi, siluman itu bisa-bisa menghabisinya.

Aaaaaaaaakkk!!!

Teriakan Nyi Putri Dua menggelegar. Sebatang bambu kuning telah tertancap tepat di perutnya. Rupanya Ki Atak hanya berpura-pura terpedaya ajian pemikat dari Nyi Putri Dua agar ia bisa mendekati dan menusukkan bambu sakti itu ke tubuh makhluk gaib itu. Ki Atak tersenyum puas seraya bersyukur kepada Yang Maha Kuasa. Tak lama kemudian Nyi Putri Dua pun hancur menjadi serbuk pasir yang larut dalam mata air itu. Ki Atak pun segera mengambil air menggunakan sauk yang dibuatnya untuk ia bawa ke desanya.

Perjalanan kembali ke desa berlangsung lebih cepat. Warga desa dengan antusias menyambut kehadiran Ki Atak yang segera berjalan menuju tanah lapang. Sambil berdoa, ia tuangkan cai (air) yang dibawa menggunakan sauk ke sebuah tanah yang kering kerontang itu. Ajaib! Air yang ia tuangkan itu tidak susut ke dalam tanah, melainkan tetap menggenang. Pelan-pelan genangan air itu semakin membesar dan pada akhirnya terus meluas menjadi sebuah danau atau warga di sana menyebutnya sebagai pangklong yang artinya danau buatan. Warga pun bersorak gembira, dengan adanya danau ini desa mereka tidak akan lagi menderita karena ancaman kekeringan. Air dari danau ini mengalir deras ke parit-parit yang mengairi sawah dan lahan pertanian warga. Berkat jasanya ini, penduduk menamai danau ini sebagai Pangklong Atak.

Aliran dari Pangklong Atak mengairi seluruh wilayah desa yang kemudian dikenal dengan nama Cisauk, berasal dari kata cai dan sauk. Kampung yang berada paling dekat dengan danau itu dikenal sebagai Cisauk Girang di mana girang memiliki arti hulu dari sumber air tersebut. Belakangan girang juga sering diartikan sebagai rasa kegembiraan warga yang telah terbebas dari malapetaka. Sementara kampung yang letaknya di sebelah barat dinamai Cicayur yang berasal dari kata cai dan sayur karena aliran air dari danau itu mengairi ladang sayur-mayur. Sedangkan kampung yang paling ujung dinamai Cileutik, berasal dari kata cai dan leutik yang berarti kecil karena aliran air di kampung ini sudah semakin mengecil.

Pangklong Atak juga memiliki kandungan pasir yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan penduduk. Sebagian area danau pun dijadikan sebagai tambang pasir. Butiran-butiran pasir ini berasal dari serpihan jasad Nyi Putri Dua. Konon, ruh siluman itu masih bersemayam di dalam danau. Pada saat tertentu, makhluk gaib itu akan memakan tumbal warga sekitar sebagai balas dendam atas kekalahannya itu. Itulah sebabnya kerap ada warga yang meninggal di danau ini. Warga pun diminta untuk tetap berhati-hati jika berada di area danau itu.

Tamat

Cerita ini hanyalah fiktif belaka.